TEORI METAKOGNISI DAN TEORI BELAJAR SOSIAL
DALAM PEMBELAJARAN
BAB
I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Faktor
kesuksesan seorang anak dimasa depan ditentukan oleh bagaimana perkembangan
seluruh aspek dirinya, yaitu perkembangan fisik, kognitif/intelektual, emosi,
dan spiritual yang berkembang secara optimal. Walaupun secara garis besar hidup
manusia ditentukan oleh kedua faktor, yakni faktor hereditas dan lingkungan
tetapi akan lebih mudah untuk berkonsentrasi kepada faktor lingkungan karna
secara langsung memiliki konsekuensi praktis
pada pola pengasuhan dan pendidikan anak. Sementara, faktor hereditas
cukup untuk kajian awal tentang potensi dasar seseorang dan untuk menelusuri
berbagai faktor hereditas yang negatif. Pengaruh faktor hereditas pada manusia
berhenti sesaat setelah peristiwa konsepsi terjadi. Setelah itu, faktor
lingkunganlah yang secara dominan dan aktual mempengaruhi seluruh aspek
kemanusiaan. Faktor hereditas hanya memberi modal dasar saja.
Sementara perkembangan kognitif
dianggap sebagai penentu kecerdasan intelektual anak, kemampuan kognitif terus
berkembang seiring dengan proses pendidikan serta juga dipengaruhi oleh faktor
perkembangan fisik terutama otak secara biologis. Perkembangan selanjutnya
berkaitan dengan kognitif adalah bagaimana mengelola atau mengatur kemampuan
kognitif tersebut dalam merespon situasi atau permasalahan. Tentunya,
aspek-aspek kognitif tidak dapat berjalan sendiri secara terpisah tetapi perlu
dikendalikan dan diatur, sehingga jika seseorang akan menggunakan kemampuan
kognitifnya maka perlu kemampuan untuk menentukan dan mengatur aktifitas
kognitif apa yang akan digunakan.
Oleh karena itu, seseorang harus memiliki kesadaran tentang kemampuan berfikirnya sendiri serta mampu untuk mengaturnya. Para ahli mengatakan kemampuan ini disebut dengan Metakognitif.
Selain itu terdapat pendekatan teori
pembelajaran terhadap kepribadian(teori pembelajaran sosial), berdasarkan pada
penjelasan yang diutarakan oleh Bandura bahwa sebagian besar daripada tingkah
laku manusia adalah diperoleh dari dalam diri, dan prinsip pembelajaran sudah
cukup untuk menjelaskan bagaimana tingkah laku berkembang. Akan tetapi,
teori-teori sebelumnya kurang memberi perhatian pada konteks sosial dimana
tingkah laku ini muncul dan kurang memperhatikan bahwa banyak peristiwa
pembelajaran terjadi dengan perantaraan orang lain. Maksudnya, sewaktu melihat
tingkah laku orang lain, individu akan belajar meniru tingkah laku tersebut
atau dalam hal tertentu menjadikan orang lain sebagai model bagi dirinya.
B. TUJUAN
1. Agar mahasiswa/i dapat mengetahui
pengertian dari kemampuan metakognitif.
2. Agar mahasiswa/i dapat mempelajari
perkembangan metakognitif anak.
3. Agar mahasiswa/i dapat mempelajari
peranan metakognisi dalam pembelajaran.
4. Agar mahasiswa/i dapat memahami
definisi teori belajar sosial.
5. Agar mahasiswa/i dapat mengetahui
faktor-faktor yang mempengaruhi sikap sosial.
6. Agar mahasiswa/i dapat mengetahui
kelemahan dan kelebihan teori Albert Bandura
C.
RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian metakognitif ?
2. Bagaimana perkembangan metakognitif
pada anak ?
3. Apa peran metakognisi dalam
pembelajaran ?
4. Apa itu teori belajar sosial ?
5. Apa saja faktor-faktor yang
mempengaruhi sikap sosial ?
BAB II
TEORI METAKOGNISI DAN TEORI BELAJAR SOSIAL
DALAM PEMBELAJARAN
A.
Teori Metakognisi dalam Pembelajaran
1. Pengertian
Kemampuan Metakognisi
Berbagai penelitian menyatakan bahwa perkembangan manusia
sudah dimulai pada masa prenatal, tidak hanya aspek fisik tetapi aspek-aspek
lainnya seperti kognitif, emosi, dan bahkan spiritual.Hal ini tentunya dalam
batasan-batasan tertentu sesuai dengan kondisi janin atau dapat dikatakan
sebagai pembentukan karakter dasar. Seperti emosi janin dan setelah besar nanti
ternyata dipengaruhi oleh kondisi emosi sang ibu. Perkembangan ini akan terus
berlanjut sampai lahir dan besar nanti yang dipengaruhi oleh faktor lingkungan
berupa pola pengasuhan dan pendidikan.
Istilah
Metakognisi dimunculkan oleh beberapa ahli psikologi sebagai hasil penelitian
terhadap kondisi, mengapa ada orang yang belajar dan mengingat lebih dari yang
lainnya? Secara harfiah metakognisi terdiri dari
awalan meta yang artinya “sesudah” dan kata kognisi
yang menurut KBBI yang artinya berhubungan dengan atau melibatkan kognisi.
Metakognisi dapat diartikan sebagai kognisi tentang kognisi, pengetahuan
tentang pengetahuan atau berpikir tentang berpikir. Menurut Anderson dan
Krathwohl (2001), penambahan awalan “meta” pada kata kognisi untuk
merefleksikan ide bahwa metakognisi adalah “tentang” atau “di atas” atau
“sesudah” kognisi. Di samping itu, pengertian metakognisi hampir sama dengan
pengertian perefleksian terhadap apa yang dipikirkannya. (deSoete, 2001). Kata
reflektif berasal dari kata ”to reflect” artinya ”to
think about”.
Istilah
metakognisi yang diperkenalkan Flavell (Yong & Kiong, 2006), mendefinisikan
aspek pertama dari metakognisi sebagai pengetahuan seseorang terhadap proses
hasil kognitifnya atau segala sesuatu yang berhubungan dengannya, kemudian
aspek kedua dari metakognisi didefinisikan sebagai pemonitoran dan
pengaturan diri terhadap aktivitas kognitif sendiri.
Schoenfeld (1992) mendefinisikan metakognisi sebagai pemikiran tentang pemikiran sendiri yang merupakan interaksi antara tiga aspek penting yaitu: pengetahuan tentang proses berpikir sendiri, pengontrolan atau pengaturan diri, serta keyakinan dan intuisi. Interaksi ini sangat penting karena pengetahuan kita tentang proses kognisi kita dapat membantu kita mengatur hal-hal di sekitar kita dan menyeleksi strategi-strategi untuk meningkatkan kemampuan kognitif kita selanjutnya.
Saat ini, kajian tentang metakognitif telah berkembang
bahkan telah diterapkan dalam pembelajaran seperti matamatika dan bahasa.
Misalnya: dalam memecahkan masalah matematika, siswa perlu memiliki kemampuan
metakognitif untuk mengatur strategi pemecahan masalah, sedangkan dalam
pembelajaran bahasa adalah siswa harus memiliki kemampuan metakognitif dalam
membaca buku.
Metakognisi merupakan refleksi terhadap pikiran serta berfikir
terhadap pikirannya sendiri, hal ini sebagaimana menurut Janssens & de
Klein dalam Setyono (2008). Menurut Flavell dalam Setyono (2008), disebut
metakognisi karena makna intinya adalah “cognition about cognition” atau
berfikir terhadap proses berfikirnya sendiri. Metakognisi mencakup pengetahuan
dan aktivitas kognitif yang menjadikan aktivitas kognitif itu sebagai objeknya.
Metakognisi berarti pengetahuan seseorang tentang proses kognitif dirinya
sendiri dan hal-hal yang berhubungan dengannya, seperti pengetahuan tentang
informasi dan data yang relevan. Flavell mengemukakan konsep tentang kemampuan
metakognitif sebagai pengetahuan metakognitif (metacognitive knowledge) dan pengalaman
metakognitif (metacognitive experience).
Menurut Suherman (2001 : 95), metakognitif adalah suatu kata
yang berkaitan dengan apa yang diketahui tentang dirinya sebagai individu yang
belajar dan bagaimana dia mengontrol serta menyesuaikan prilakunya. Seseorang
perlu menyadari kekurangan dan kelebihan yang dimilikinya. Metakognitif adalah
suatu bentuk kemampuan untuk melihat pada diri sendiri sehingga apa yang dia
lakukan dapat terkontrol secara optimal. Dengan kemampuan seperti ini seseorang
dimungkinkan memiliki kemampuan tinggi dalam memecahkan masalah, sebab dalam
setiap langkah yang dia kerjakan senantiasa muncul pertanyaan : “Apa yang saya
kerjakan ?”; “Mengapa saya mengerjakan ini?”; “Hal apa yang membantu saya untuk
menyelesaikan masalah ini?”.
Sementara menurut Margaret W. Matlin, metakognitif adalah “knowledge
and awareness about cognitive processes – or our thought about thinking”.
Jadi metakognitif adalah suatu kesadaran tentang kognitif kita sendiri, bagaimana kognitif kita bekerja serta bagaimana mengaturnya.Kemampuan ini sangat penting terutama untuk keperluan efisiensi penggunaan kognitif kita dalam menyelesaikan masalah.Secara ringkas metakognitif dapat diistilahkan sebagai “thinking about thingking”.
Pengetahuan metakognitif merupakan pengetahuan dan keyakinan
yang terhimpun melalui pengalaman kognitif seseorang dan tersimpan dalam memori
jangka panjangnya.Pengetahuan metakognitif dapat bersifat deklaratif, yaitu
seseorang mengetahui bahwa (knowing
that) atau bersifat prosedural, yaitu seseorang mengetahui bagaimana (knowing how), atau kedua-duanya.Pengetahuan metakognitif
seseorang dapat dibagi menjadi pengetahuannya tentang pribadi, tugas-tugas dan
strategi. Kategori pribadi meliputi pengetahuan dan keyakinan yang berkaitan
dengan seperti apa seseorang itu.
Pengalaman metakognitif merupakan pengalaman kognitif dan afektif yang berkenaan dengan usaha kognitif. Sebagai contoh, siswa yang kemudian menyadari bahwa ia tidak memahami soal cerita yang telah dibacanya dapat memacu beberapa tindakan adaptif seperti membaca kembali, berfikir ulang tentang apa yang berhasil dipahaminya, atau meminta penjelasan pada orang lain. Pengalaman metakognitif turut memberikan kontribusi informasi tentang pribadi, tugas-tugas dan strategi pada pengetahuan metakognitif seseorang.Terlihat bahwa pengetahuan metakognitif, pengalaman metakognitif dan perilaku kognitif secara konstan saling menginformasikan dan saling memunculkan selama pengerjaan suatu tugas kognitif.
Berikut ini adalah beberapa manfaat
dari keterampilan metakognitif yang dikemukakan oleh para ahli Corebima dalam Anathime (2009):
1. Eggen dan
Kauchak (1996) menyatakan bahwa pengembangan kecakapan metakognitif pada para
siswa adalah suatu tujuan pendidikan yang berharga, karena kecakapan itu dapat
membantu mereka menjadi self-regulated learners. Self-regulated learners bertanggung
jawab terhadap kemajuan belajarnya sendiri dan mengadaptasi strategi belajarnya
mencapai tuntutan tugas.
2. Menurut Marzano
(1988), manfaat metakognisi (strategi) bagi guru dan siswa adalah menekankan
monitoring diri dan tanggung jawab siswa (monitoring diri merupakan kecakapan
berpikir tinggi).
3. Susantini, dkk. (2001) menyatakan melalui metakognisi siswa mampu menjadi pembelajar mandiri, menumbuhkan sikap jujur dan berani melakukan kesalahan dan akan meningkatkan hasil belajar secara nyata
4.
Howard (2004)
menyatakan bahwa keterampilan metakognitif diyakini memegang peranan penting
pada banyak tipe aktivitas kognitif termasuk pemahaman, komunikasi, perhatian (attention),
ingatan (memory), dan pemecahan masalah; sejumlah peneliti yakin bahwa
penggunaan strategi yang tidak efektif adalah salah satu penyebab
ketidakmampuan belajar.
5. Peters (2000) berpendapat bahwa keterampilan metakognitif memungkinkan para siswa berkembang sebagai pelajar mandiri, karena mendorong mereka menjadi manajer atas dirinya sendiri serta menjadi penilai atas pemikiran dan pembelajarannya sendiri.
Berdasarkan manfaat yang telah
dikemukakan, maka pemberdayaan keterampilan metakognitif sangatlah penting
dalam pembelajaran. Dengan memiliki keterampilan metakognitif, siswa akan mampu
untuk menyelesaikan tugas belajarnya dengan baik karena mereka mampu untuk
merencanakan pembelajaran, mengatur diri, dan mengevaluasi pembelajarannya.
Livingston dalam Anathime (2009) membagi
pengetahuan metakognitif menjadi 3 kategori, yaitu pengetahuan tentang
variabel-variabel personal, variabel-variabel tugas, dan variabel-variabel
strategi. Pengetahuan tentang variabel-variabel personal berkaitan dengan
pengetahuan tentang bagaimana siswa belajar dan memproses informasi serta pengetahuan
tentang proses-proses belajar yang dimilikinya. Sebagai contoh, seorang siswa
sadar bahwa proses belajar lebih produktif jika dilakukan di perpustakaan dari
pada di rumah. Pengetahuan tentang variabel-variabel tugas melibatkan
pengetahuan tentang sifat tugas dan jenis pemrosesan. Sebagai contoh, siswa
sadar bahwa membaca dan memahami teks ilmu pengetahuan memerlukan lebih banyak
waktu dari pada membaca dan memahami sebuah novel.
Pengetahuan tentang variabel-variabel
strategi melibatkan pengetahuan tentang strategi-strategi kognitif dan
metakognitif serta pengetahuan kondisional tentang kapan dan di mana
strategi-strategi tersebut digunakan.
Keterampilan kognitif dan metakognitif,
sekalipun berhubungan tetapi berbeda; keterampilan kognitif dibutuhkan untuk
melaksanakan tugas, sedangkan keterampilan metakognitif diperlukan untuk
memahami bagaimana tugas itu dilaksanakan (Rivers, 2001 dan Schraw, 1998 dalam Anathime 2009).
Indikator-indikator keterampilan
metakognitif yang akan dikembangkan yaitu: (1) mengidentifikasi tugas yang
sedang dikerjakan, (2) mengawasi kemajuan pekerjaannya, (3) mengevaluasi
kemajuan, dan (4) memprediksi hasil yang akan diperoleh. Selanjutnya
proses-proses yang diarahkan pada pengaturan proses berpikir juga akan membantu
(1) mengalokasikan sumber daya-sumber daya yang dimiliki untuk mengerjakan
tugas, (2) menentukan langkah-langkah penyelesaian tugas, dan (3) menentukan
intensitas, atau (4) kecepatan dalam menyelesaikan tugas. Indikator-indikator
keterampilan metakognitif tersebut dituangkan dalam inventori keterampilan
metakognitif (Anathime, 2009).
Menurut Blakey dan Spence (2000) dalam Anathime (2009), strategi untuk mengembangkan keterampilan metakognitif
adalah sebagai berikut.
1.
Mengidentifikasi “apa yang kamu ketahui” dan “apa yang tidak kamu ketahui”
2.
Membahas tentang berpikir
3.
Membuat jurnal merencanakan dan pengaturan diri
4.
Menjelaskan tentang proses berpikir dan evaluasi
2. Perkembangan
Metakognitif Anak
Menurut Desmita dalam Dindin […], pada umumnya teori-teori
tentang kemampuan metakogntif mendapat inspirasi dari penelitian J.H Plavel
mengenai pengetahuan metakognitif dan penelitian A.L. Brown mengenai
metakognitif atau pengontrolan pengeturan diri (self-regulation) selama
pemecahan masalah.
Desmita dalam Dindin […] dinyatakan bahwa penelitian Flavel
tentang metakognitif lebih difokuskan pada anak-anak.Flavel menunjukkan bahwa
anak-anak yang masih kecil telah menyadari adanya pikiran, memiliki keterkaitan
dengan dunia fisik, terpisah dari dunia fisik, dapat menggambarkan objek-objek
dan peristiwa-peristiwa secara akurat atau tidak akurat, dan secara aktif
menginterpretasi tentang realitas dan emosi yang dialami. Anak-anak usia 3
tahun telah mampu memahami bahwa pikiran adalah peristiwa mental internal yang
menyenangkan, yang referensial (merujuk pada peristiwa-peristiwa nyata atau
khayalan), dan yang unik bagi manusia. Mereka juga dapat membedakan pikiran
dengan pengetahuan.
Dari beberapa penelitian lain terungkap bahwa anak-anak yang
masih kecil usia 2 – 2,5 tahun telah mengerti bahwa untuk menyembunyikan sebuah
objek dari orang lain mereka harus menggunakan taktik penipuan, seperti
berbohong atau menghilangkan jejak mereka sendiri (Hala et.al., dalam Dindin ).
Sementara Wellman dan Gelman dalam Dindin […] menunjukkan bahwa pemahaman anak
tentang pikiran manusia tumbuh secara ekstensif sejak tahun-tahun pertama
kehidupannya. Kemudian pada usia 3 tahun anak menunjukkan suatu pemahaman bahwa
kepercayaan-kepercayaan dan keinginan-keinginan internal dari seseorang
berkaitan dengan tindakan-tindakan orang tersebut. Secara lebih rinci Wellman
menunjukkan kemajuan pikiran anak usia 3 tahun dalam empat tipe pemahaman yang
menjadi dasar bagi pikiran teoritis mereka, yaitu : (1) memahami bahwa pikiran
terpisah dari objek-objek lain; (2) memahami bahwa pikiran menghasilkan
keinginan dan kepercayaan; (3) memahami tentang bagaimana tipe-tpe keadaan
mental yang berbeda-beda berhubungan; dan (4) memahami bahwa pikiran digunakan
untuk menggambarkan realitas eksternal.
Berdasarkan hal ini, berarti kemampuan metakognitif telah
berkembang sejak masa anak-anak awal dan terus berlanjut sampai usia sekolah
dasar dan seterusnya mencapai bentuknya yang lebih mapan. Pada usia sekolah
dasar seiring dengan tuntutan kemampuan kognitif yang harus dikuasai oleh
anak/siswa, mereka dituntut pula untuk dapat menggunakan dan mengatur kognitif
mereka.
Metakognitif banyak digunakan dalam situasi pembelajaran,
seperti dalam menyelesaikan soal pemecahan masalah matematika, membaca buku,
serta dalam melakukan kegiatan drama atau bermain peran.
Kemampuan metakognitf anak tidak muncul dengan sendirinya,
tetapi memerlukan latihan sehingga menjadi kebiasaan. Suherman (2001:96)
menyatakan bahwa perkembangan metakognitif dapat diupayakan melalui cara dimana
anak dituntut untuk mengobservasi tentang apa yang mereka ketahui dan kerjakan,
dan untuk merefleksi tentang apa yang dia obeservasi. Oleh karena itu, sangat
penting bagi guru atau pendidik (termasuk orang tua) untuk mengembangkan
kemampuan metakognitif baik melalui pembelajaran ataupuan mengembangkan
kebiasaan di rumah.
3.Peranan Metakognisi Dalam Pembelajaran
- Keberhasilan
Belajar
Sebagaimana
dikemukakan pada uraian sebelumnya bahwa metakognisi pada dasarnya adalah
kemampuan belajar bagaimana seharusnya belajar dilakukan yang didalamnya
dipertimbangkan dan dilakukan aktivitas-aktivitas sebagai berikut (Taccasu
Project, 2008).
- Mengembangkan
suatu rencana kegiatan belajar.
- Mengidentifikasi
kelebihan dan kekurangannya berkenaan dengan kegiatan belajar.
- Menyusun
suatu program belajar untuk konsep, keterampilan, dan ide-ide yang baru.
- Mengidentifkasi
dan menggunakan pengalamannya sehari-hari sebagai sumber belajar.
- Memanfaatkan
teknologi modern sebagai sumber belajar.
- Memimpin
dan berperan serta dalam diskusi dan pemecahan masalah kelompok.
- Belajar
dari dan mengambil manfaat pengalaman orang-orang tertentu yang telah
berhasil dalam bidang tertentu.
- Belajar
dari dan mengambil manfaatkan pengalaman orang-orang tertentu yang telah
berhasil dalam bidang tertentu.
- Memahami
faktor-faktor pendukung keberhasilan belajarnya.
Berdasarkan
apa yang dipaparkan di atas dapat dinyatakan bahwa keberhasilan seseorang dalam
belajar dipengaruhi oleh kemampuan metakognisinya. Jika setiap kegiatan belajar
dilakukan dengan mengacu pada indikator dari learning how to learn maka
hasil optimal akan mudah dicapai.
2.
Pengembangan Metakognisi dalam Pembelajaran
Mengingat
pentingnya peranan metakognisi dalam keberhasilan belajar, maka upaya untuk
meningkatkan hasil belajar peserta didik dapat dilakukan dengan meningkatkan
metakognisi mereka.Mengembangkan metakognisi pembelajar berarti membangun
fondasi untuk belajar secara aktif. Guru sebagai sebagai perancang kegiatan
belajar dan pembelajaran, mempunyai tanggung jawab dan banyak kesempatan untuk
mengembangkan metakognisi pembelajar. Strategi yang dapat dilakukan guru atau
dosen dalam mengembangkan metakognisi peserta didik melalalui kegiatan belajar
dan pembelajaran adalah sebagai berikut (Taccasu Project, 2008).
1)
Membantu peserta didik dalam mengembangkan strategi belajar dengan:
- Mendorong
pembelajar untuk memonitor proses belajar dan berpikirnya.
- Membimbing
pembelajar dalam mengembangkan strategi-strategi belajar yang efektif.
- Meminta
pembelajar untuk membuat prediksi tentang informasi yang akan muncul atau
disajikan berikutnya berdasarkan apa yang mereka telah baca atau pelejari.
- Membimbing
pembelajar untuk mengembangkan kebiasaan bertanya.
- Menunjukkan
kepada pembelajar bagaimana teknik mentransfer pengetahuan, sikap-sikap,
nilai-nilai, keterampilan-keterampilan dari suatu situasi ke situasi yang
lain.
2)
Membimbing pembelajar dalam mengembangkan kebiasaan peserta didik yang baik
melalui :
a)
Pengembangan kebiasaan mengelola diri sendiri
Pengembangan
kebiasaan mengelola diri sendiri dapat dilakukan dengan : (1) mengidentifikasi
gaya belajar yang paling cocok untuk diri sendiri (visual, auditif, kinestetik,
deduktif, atau induktif); (2)memonitor dan meningkatkan kemampuan belajar
(membaca, menulis, mendengarkan, mengelola waktu, dan memecahkan masalah); (3)
memanfaatkan lingkungan belajar secara variatif (di kelas dengan ceramah,
diskusi, penugasa, praktik di laboratorium, belajar kelompok, dst).
b)
Mengembangkan kebiasaan untuk berpikir positif
Kebiasaan berpikir positif dikembangkan dengan : (1) meningkatkan rasa percaya diri (self-confidence) dan rasa harga diri (self-esteem) dan (2) mengidentifikasi tujuan belajar dan menikmati aktivitas belajar
c)
Mengembangkan kebiasaan untuk berpikir secara hirarkhis
Kebiasaan
untuk berpikir secara hirarkhis dikembangkan dengan : (1) membuat keputusan dan
memecahkan masalah dan (2) memadukan dan menciptakan hubungan-hubungan
konsep-konsep yang baru.
d)
Mengembangkan kebiasaan untuk bertanya
Kebiasaan
bertanya dikembangkan dengan : (1) mengidentifikasi ide-ide atau konsep-konsep
utama dan bukti-bukti pendukung; (2) membangkitkan minat dan motivasi; dan (3)
memusatkan perhatian dan daya ingat.
Pengembangan
metakognisi pembelajar dapat pula dilakukan dengan aktivitas-aktivitas yang
sederhana kemudian menuju ke yang lebih rumit.
B.
Teori Belajar Sosial dalam
Pembelajaran
1.
Definisi Teori Belajar Sosial
Teori Pembelajaran Sosial merupakan perluasan dari teori
belajar perilaku yang tradisional (behavioristik)1. Teori pembelajaran social
ini dikembangkan oleh Albert Bandura (1986). Teori ini menerima sebagian besar
dari prinsip – prinsip teori – teori belajar perilaku, tetapi memberikan lebih
banyak penekanan pada kesan dan isyarat – isyarat perubahan perilaku, dan pada
proses – proses mental internal. Jadi dalam teori pembelajaran social kita akan
menggunakan penjelasan – penjelasan reinforcement eksternal dan penjelasan –
penjelasan kognitif internal untuk memahami bagaimana belajar dari orang lain.
Dalam pandangan belajar social “ manusia “ itu tidak didorong oleh kekuatan –
kekuatan dari dalam dan juga tidak dipengaruhi oleh stimulus – stimulus
lingkungan.
Teori
belajar social menekankan bahwa lingkungan – lingkungan yang dihadapkan pada
seseorang secara kebetulan ; lingkungan – lingkungan itu kerap kali dipilih dan
diubah oleh orang itu melalui perilakunya sendiri. Menurut Bandura, sebagaimana
dikutip oleh (Kard,S,1997:14) bahwa “sebagian besar manusia belajar melalui
pengamatan secara selektif dan mengingat tingkah laku orang lain”. Inti dari
pembelajaran social adalah pemodelan (modelling), dan pemodelan ini merupakan
salah satu langkah paling penting dalam pembelajaran terpadu.
Ada dua
jenis pembelajaran melalui pengamatan ,Pertama. Pembelajaran melalui pengamatan
dapat terjadi melalui kondisi yang dialami orang lain,Contohnya : seorang
pelajar melihat temannya dipuji dan ditegur oleh gurunya karena perbuatannya,
maka ia kemudian meniru melakukan perbuatan lain yang tujuannya sama ingin
dipuji oleh gurunya. Kejadian ini merupakan contoh dari penguatan melalui
pujian yang dialami orang lain. Kedua, pembelajaran melalui pengamatan meniru
perilaku model meskipun model itu tidak mendapatkan penguatan positif atau
penguatan negatif saat mengamati itu sedang memperhatikan model itu
mendemonstrasikan sesuatu yang ingin dipelajari oleh pengamat tersebut dan
mengharapkan mendapat pujian atau penguatan apabila menguasai secara tuntas apa
yang dipelajari itu. Model tidak harus diperagakan oleh seseorang secara
langsung, tetapi kita dapat juga menggunakan seseorang pemeran atau visualisasi
tiruan sebagai model (Nur, M,1998.a:4).
Seperti
pendekatan teori pembelajaran terhadap kepribadian, teori pembelajaran social
berdasarkan pada penjelasan yang diutarakan oleh Bandura bahwa sebagian besar
daripada tingkah laku manusia adalah diperoleh dari dalam diri, dan prinsip
pembelajaran sudah cukup untuk menjelaskan bagaimana tingkah laku berkembang.
Akan tetapi, teori – teori sebelumnya kurang memberi perhatian pada konteks
social dimana tingkah laku ini muncul dan kurang memperhatikan bahwa banyak peristiwa
pembelajaran terjadi dengan perantaraan orang lain. Maksudnya, sewaktu melihat
tingkah laku orang lain, individu akan belajar meniru tingkah laku tersebut
atau dalam hal tertentu menjadikan orang lain sebagai model bagi dirinya.
Teori belajar social yang dikenalkan oleh Albert Bandura ini, menekankan pada komponen kognitif dari pikiran, pemahaman dan evaluasi. Menurut Bandura, orang belajar melalui pengalaman langsung atau pengamatan (mencontoh model). Orang belajar dari apa yang ia baca, dengar, dan lihat di media, dan juga dari orang lain dan lingkungannya. (Sihnu Bagus).
Albert
Bandura mengemukakan bahwa seorang individu belajar banyak tentang perilaku
melalui peniruan/modeling, bahkan tanpa adanya penguat (reinforcement)
sekalipun yang diterimanya. Proses belajar semacam ini disebut “observational
learning” atau pembelajaran melalui pengamatan. Albert Bandura (1971),
mengemukakan bahwa teori pembelajaran sosial membahas tentang (1) Bagaimana
perilaku kita dipengaruhi oleh lingkungan melalui penguat (reinforcement) dan
observational learning, (2) Cara pandang dan cara pikir yang kita miliki
terhadap informasi, (3) Bagaimana perilaku kita mempengaruhi lingkungan kita
dan menciptakan penguat (reinforcement) dan observational opportunity.
Teori
belajar sosial menekankan observational learning sebagai proses pembelajaran,
yang mana bentuk pembelajarannya adalah seseorang mempelajari perilaku dengan
mengamati secara sistematis imbalan dan hukuman yang diberikan kepada orang
lain.
Dalam
observational learning terdapat empat tahap belajar dari proses pengamatan atau
modeling. Proses yang terjadi dalam observational learning tersebut antara lain
:
- Atensi,
dalam tahapan ini seseorang harus memberikan perhatian terhadap model
dengan cermat.
- Retensi,
tahapan ini adalah tahapan mengingat kembali perilaku yang ditampilkan
oleh model yang diamati. Maka seseorang perlu memiliki ingatan yang bagus
terhadap perilaku model.
- Reproduksi,
dalam tahapan ini seseorang yang telah memberikan perhatian untuk
mengamati dengan cermat dan mengingat kembali perilaku yang telah
ditampilkan oleh modelnya maka berikutnya adalah mencoba menirukan atau
mempraktekkan perilaku yang dilakukan oleh model.
- Motivasional,
tahapan berikutnya adalah seseorang harus memiliki motivasi untuk belajar
dari model.
Menurut
Skinner dan Bandura (dalam Haditono, Knoers, dan Monks 1992) mempunyai
pandangan yang empiris dan mendasarkan diri pada teori belajar untuk
menjelaskan perkembangan bahasa.
Pandangan
ini bertitik tolak pada pendapat bahwa anak dilahirkan dengan tidak membawa
kemampuan apapun.Anak masih harus banyak belajar, termasuk juga belajar
berbahasa yang dilakukannya melalui imitasi, belajar model, dan belajar dengan
reinforcement (penguatan, bala bantuan).
Bandura
mencoba menerangkannya dari sudut pandang teori belajar sosial.Ia berpendapat
bahwa anak belajar bahasa menirukan suatu model. Tingkah laku imitasi ini,
tidak mesti harus menerima reinforcememnt sebab belajar model dalam prinsipnya
lepas dari reinforcement luas.
Teori
belajar sosial berpangkal pada dalil bahwa tingkah laku manusia sebagian besar
adalah hasil pemerolehan, dan bahwa prinsip-prinsip belajar adalah cukup untuk
menjelaskan bagaimana tingkah laku berkembang dan menetap. Akan tetapi,
teori-teori sebelumnya selain kurang memberi perhatian pada konteks sosial
dimana tingkah laku ini muncul, juga kurang menyadari fakta bahwa banyak
peristiwa belajar yang penting terjadi dengan perantaraan orang lain. Artinya,
sambil mengamati tingkah laku orang lain, individu-individu belajar mengimitasi
atau meniru tingkah laku tersebut atau dalam hal tertentu menjadikan orang lain
model bagi dirinya.
Sosial
adalah interaksi atau hubungan yang dilakukan dengan orang banyak yang
ditemukan disekelilingnya dalam menjalankan kehidupan individunya sehari-hari.Sosial
membantu tiap anak untuk merasa diterima didalam kelompok, membantu anak
belajar berkomunikasi dan bergaul dengan orang lain, mendorong empati dan
saling menghargai terhadap anak-anak maupun orang dewasa. Lingkungan
pembelajaran yang paling utama berasal dari keluarga, sekolah, dan teman
sebaya..
Atkinson
Hilgard (1997) mengemukakan pendapatnya bahwa, anak akan mempelajari sebagian
besar keterampilan sosialnya dari interaksi dengan sesamanya. Mereka akan
belajar memberi; memutuskan; dan membagi pengalamannya bersama-sama.
2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Sikap Sosial
Menurut
Prasetyo dalam bukunya Psikologi Pendidikan mengemukakan bahwa: “Faktor-faktor
yang mempengaruhi sikap sosial adalah sebagai berikut: (a) Faktor Indogen:
faktor pada diri anak itu sendiri seperti faktor imitasi, sugesti,
identifikasi, simpati dan (b) Faktor Eksogen; faktor yang berasal dari luar
seperti lingkungan keluarga, lingkungan masyarakat dan lingkungan sekolah”
(Prasetyo, 1997 : 96).
Dari
pendapat ahli tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang
mempengaruhi sikap sosial adalah sebagai berikut: (a) Faktor Indogen; faktor
sugesti, identifikasi, dan imitasi (b) Faktor Eksogen; faktor yang
berasal dari luar seperti lingkungan keluarga, lingkungan masyarakat, dan
lingkungan sekolah. Berikut ini akan dijelaskan masing-masing faktor yang
mempengaruhi sikap sosial tersebut.
a.
Faktor Indogen
Faktor
indogen adalah faktor yang mempengaruhi sikap sosial anak yang datang dari
dalam dirinya sendiri. Dalam hal ini dapat dibedakan menjadi tiga faktor yaitu:
a) faktor sugesti, b) faktor identifikasi, dan c) faktor imitasi. Berikut
ini akan dijelaskan secara singkat masing-masing faktor tersebut.
1).
Faktor Sugesti
Dalam
buku Psikologi Kepribadian dijelaskan bahwa: “Sugesti adalah proses seorang
individu didalam berusaha menerima tingkah laku maupun prilaku orang lain tanpa
adanya kritikan terlebih dahulu” (Nawawi, 2000 : 72).
Dari
pendapat ahli tersebut diatas, dapat dikatakan sugesti dapat mempengaruhi sikap
sosial seseorang sedangkan anak yang tidak mampu bersugesti cenderung untuk
tidak mau menerima keadaan orang lain, seperti tidak merasakan penderitaan
orang lain, tidak bisa bekerjasama dengan orang lain dan sebagainya.
2). Faktor Identifikasi
Identifikasi
dilakukan kepada orang lain yang dianggapnya ideal atau sesuai dengan dirinya.
Hal ini sesuai dengan pendapat Nawawi dalam bukunya Interaksi Sosial dijelaskan
bahwa: “Anak yang mengidentifikasikan dirinya seperti orang lain akan
mempengaruhi perkembangan sikap sosial seseorang, seperti anak cepat merasakan
keadaan atau permasalahan orang lain yang mengalami suatu problema
(permasalahan)” (Nawawi, 2000 : 82).
Menurut
pendapat ahli tersebut diatas jelaslah bahwa seseorang yang berusaha mengidentifikasikan
diri dengan keadaan orang lain akan lebih mampu merasakan keadaan orang lain,
daripada seorang anak yang tidak mau mengidentifikasikan dirinya dengan orang
lain yang cenderung mampu merasakan keadaan orang lain.
3).
Faktor Imitasi
Imitasi
dapat mendorong seseorang untuk berbuat baik. Pada buku Psikologi Pendidikan
dijelaskan bahwa: “Sikap seseorang yang berusaha meniru bagaimana orang yang
merasakan keadaan orang lain maka ia berusaha meniru bagaimana orang yang
merasakan sakit, sedih, gembira, dan sebagainya. Hal ini penting didalam
membentuk rasa kepedulian sosial seseorang” (Purwanto, 1999 : 65). Sedangkan
ahli lain mengatakan pula bahwa: “Anak-anak yang meniru keadaan orang lain,
akan cenderung mampu bersikap sosial, daripada yang tidak mampu meniru keadaan
orang lain” (Nawawi, 2000 : 42).
Dari kedua pendapat tersebut diatas, jelaslah bahwa imitasi dapat mempengaruhi sikap sosial seseorang, dimana seseorang yang berusaha meniru (imitasi) keadaan orang lain akan lebih peka dalam merasakan keadaan orang lain, apakah orang sekitarnya itu dalam keadaan susah, senang ataupun gembira.
b. Faktor Eksogen
Faktor
eksogen adalah faktor yang mempengaruhi sikap sosial anak dari luar dirinya
sendiri. Dalam hal ini menurut Soetjipto dan Sjafioedin dalam bukunya
Metodologi Ilmu Pengetahuan Sosial dijelaskan bahwa: “Ada tiga faktor yang
mempengaruhi sikap sosial anak yaitu: ” a) faktor lingkungan keluarga, b)
faktor lingkungan sekolah dan c) faktor lingkungan masyarakat” (Soetjipto dan
Sjafiodin, 1994 : 22) . Berikut ini akan dijelaskan secara singkat
masing-masing faktor tersebut.
1). Faktor Lingkungan Keluarga
Keluarga
merupakan tumpuan dari setiap anak, keluarga merupakan
lingkungan yang pertama dari anak dari keluarga pulalah anak menerima pendidikan
karenanya keluarga mempunyai peranan yang sangat penting didalam perkembangan
anak. Keluarga yang baik akan memberikan pengaruh yang baik terhadap
perkembangan anak, demikian pula sebaliknya. Dalam buku Psikologi Pendidikan
dijelaskan bahwa: “Anak yang tidak mendapatkan kasih sayang, perhatian,
keluarga yang tidak harmonis, yang tidak memanjakan anak-anaknya dapat
mem-pengaruhi sikap sosial bagi anak-anaknya” (Purwanto, 1999 : 89).
Dari
pendapat tersebut, jelaslah bahwa keharmonisan dalam keluarga, anak yang
mendapatkan kasih sayang serta keluarga yang selalu memberikan perhatian kepada
anak-anaknya merupakan peluang yang cukup besar didalam mempengaruhi timbulnya
sikap sosial bagi anak-anaknya.
2). Faktor Lingkungan Sekolah
Dalam
bukunya Psikologi Sosial dijelaskan bahwa: “Keadaan sekolah seperti cara
penyajian materi yang kurang tepat serta antara guru dengan murid mempunyai
hubungan yang kurang baik akan menimbulkan gejala kejiwaan yang kurang baik
bagi siswa yang akhirnya mempengaruhi sikap sosial seorang siswa” (Ahmadi, 1996
: 65). Selanjutnaya dalam buku Interaksi Sosial dijelaskan bahwa: “Ada beberapa
faktor lain di sekolah yang dapat mempengaruhi sikap sosial siswa yaitu tidak
adanya disiplin atau peraturan sekolah yang mengikat siswa untuk tidak berbuat
hal-hal yang negatif ataupun tindakan yang menyimpang” (Nawawi, 2000 : 66).
Dari
kedua pendapat ahli diatas, maka faktor lingkungan sekolah yang dapat
mempengaruhi sikap sosial siswa adalah cara penyajian materi, prilaku maupun
sikap dari para gurunya, tidak adanya disiplin atau peraturan-peraturan sekolah
yang betul-betul mengikat siswa.
3). Faktor Lingkungan Masyarakat
Lingkungan
masyarakat merupakan tempat berpijak para remaja sebagai makhluk sosial.Manusia
sebagai makhluk sosial tidak bisa melepaskan diri dari masyarakat. Anak
dibentuk oleh lingkungan masyarakat dan dia juga sebagai anggota masyarakat,
kalau lingkungan sekitarnya itu baik akan berarti sangat membantu didalam
pembentukkan keperibadian dan mental seorang anak, begitu pula sebaliknya kalau
lingkungan sekitarnya kurang baik akan berpengaruh kurang baik pula
terhadap sikap sosial seorang anak, seperti tidak mau merasakan keadaan
orang lain. Dalam buku Psikologi Sosial dijelaskan bahwa: “Lingkungan masyarakat
yang bisa mempengaruhi timbulnya berbagai sikap sosial pada anak seperti cara
bergaul yang kurang baik, cara menarik kawan-kawannya dan sebaginya” (Sarwono,
1997 : 59). Selanjutnya dalam buku Interaksi Sosial dijelaskan bahwa:
“Pergaulan sehari-hari yang kurang baik bisa mendatangkan sikap sosial yang
kurang baik, begitu sebaliknya dimana suatu lingkungan masyarakat yang baik
akan mendatangkan sikap sosial yang baik pula terhadap anak” (Nawawi, 2000 :
45).Dengan demikian dari uraian dan pendapat ahli tersebut diatas, maka
lingkungan masyarakat sangat besar pengaruhnya terhadap pembentukkan sikap
sosial seorang anak, begitu pula sebaliknya lingkungan masyarakat yang kurang
baik akan menimbulkan sikap sosial yang kurang baik pula terhadap anak.
3.
Kelemahan Teori Albert Bandura
Teori
pembelajaran Sosial Bandura sangat sesuai jika diklasifikasikan dalam teori
behavioristik. Ini karena, teknik pemodelan Albert Bandura adalah mengenai
peniruan tingkah laku dan adakalanya cara peniruan tersebut memerlukan
pengulangan dalam mendalami sesuatu yang ditiru.Selain itu juga, jika manusia
belajar atau membentuk tingkah lakunya dengan hanya melalui peniruan ( modeling
), sudah pasti terdapat sebagian individu yang menggunakan teknik peniruan ini
juga akan meniru tingkah laku yang negative , termasuk perlakuan yang tidak
diterima dalam masyarakat.
4.
Kelebihan Teori Albert Bandura
Teori
Albert Bandura lebih lengkap dibandingkan teori belajar sebelumnya , karena itu
menekankan bahwa lingkungan dan perilaku seseorang dihubungkan melalui system
kognitif orang tersebut. Bandura memandang tingkah laku manusia bukan semata –
mata reflex atas stimulus ( S-R bond), melainkan juga akibat reaksi yang timbul
akibat interaksi antara lingkungan dengan kognitif manusia itu sendiri.
Pendekatan teori belajar social lebih ditekankan pada perlunya conditioning ( pembiasan merespon ) dan imitation ( peniruan ). Selain itu pendekatan belajar social menekankan pentingnya penelitian empiris dalam mempelajari perkembangan anak – anak. Penelitian ini berfokus pada proses yang menjelaskan perkembangan anak – anak, faktor social dan kognitif.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Perkembangan
yang optimal pada segala aspek merupakan faktor kesuksesan seorang anak
kedepan. Pola pengasuhan dan pendidikan yang dilakukan oleh orang tua, guru dan
lingkungan akan berpengaruh terhadap kualitas anak. Dengan tanpa mengabaikan
aspek lain, perkembangan kognitif menjadi salah satu fokus penting selain
perkembangan fisik pada masa anak-anak.
Seiring
dengan peningkatan kemampuan kognitif, anak mulai menyadari bahwa pikiran
terpisah dari objek atau tindakan seseorang.Anak sudah dapat mulai mengatur
pikirannya dalam bentuk yang sederhana.Berdasarkan penelitian Flavel, anak 3
tahun memiliki kemampuan untuk mengatur pikirannya.Kemampuan inilah yang
disebut metakognitif, yaitu suatu kesadaran tentang kognitif kita sendiri,
bagaimana kognitif kita bekerja serta bagaimana mengaturnya.Kemampuan ini
sangat penting terutama untuk keperluan efisiensi penggunaan kognitif kita
dalam menyelesaikan masalah.Secara ringkas metakognitif dapat diistilahkan
sebagai “thinking about thingking”.
Sedangkan dari uraian tentang teori
belajar social dapat disimpulkan sebagai berikut :
1.
Belajar merupakan interaksi segitiga yang saling berpengaruh
dan mengikat antara lingkungan, faktor-faktor personal dan tingkah laku yang
meliputi proses-proses kognitif belajar.
2. Komponen-komponen belajar terdiri
dari tingkah laku, konsekuensi-konsekuensi terhadap model dan proses-proses
kognitif pembelajaran.
3. Hasil belajar berupa kode-kode
visual dan verbal yang mungkin dapat dimunculkan kembali atau tidak
(retrievel).
4. Dalam perencanaan pembelajaran skill
yang kompleks, disamping pembelajaran-pembelajaran komponen-komponen skill itu
sendiri, perlu ditumbuhkan “sense of efficacy” dan self regulatory” pembelajar.
5. Dalam proses pembelajaran, pelajar
sebaiknya diberi kesempatan yang cukup untuk latihan secara mental sebelum
latihan fisik, dan “reinforcement” dan hindari punishment yang tidak perlu.
DAFTAR PUSTAKA
Anathime. 2009. Keterampilan Metakognitif . [online]. Tersedia: http://biologyeducationresearch.blogspot.com.
Dindin.[…]. Perkembangan Metakognitif Dan Pengaruhnya
Pada Kemampuan Belajar Anak. [online]. Tersedia: http://file.upi.edu/Direktori/KD...MUIZ.../ .
Setyono.(2008). Metakognitif dalam Pemecahan Masalah. [online]. Tersedia:http://setyono.blogspot.com.
Shadiq.[…].Bagaimana Cara Guru Matematika Meningkatkan
Kecakapan Mengenal Diri SendiriPara Siswa?.
[online]. Tersedia :http://fadjarp3g.files.wordpress.com
.
Jonassen.
(2000). Toward a Design Theory of Problem Solving To Appear in Educational
Technologi : Research and Depelopement. [online] Tersedia:
http://www.coe.missouri.edu/~jonassen/PSPaper%20 final.pdf. [22 April 2011]
Diposkan 26th January 2013 oleh Trisniawati
Taccasu Project. (2008)
“Metacognition” Tersedia pada: http://www.careers.hku.hk/taccasu/ref/metacogn.htm, diakses pada 19 Mei 2013.
Anonim.
2010. Belajar Sosial. http://id.wikipedia.org.
Diakses
pada tanggal 1 Oktober 2011.
Anonim.2010.
Teori Belajar Sosial.http://depe.blog.uns.ac.id.
Diakses
pada tanggal 1 Oktober 2011.
http://all-about-theory.blogspot.com. Diakses pada tanggal 1 Oktober
2011.
Bintang.2008. Teori Belajar Sosial.http://bintangbangsaku.multiply.com.
Diakses
pada tanggal 1 Oktober 2011.
http://aniendriani.blogspot.com.Diakses pada tanggal 1 Oktober 2011.
http://etd.eprints.ums.ac.id.Diakses pada tanggal 1 Oktober 2011.
https://zultogalatp.wordpress.com Diakses pada tanggal 21 september
2015 (11:02)
lenterakecil.com/metakognisi-dalam-pembelajaran Diakses pada tanggal 21 september
2015 (11:05)
trisniawati87.blogspot.co.id/2013/10/makalah-metakognitif.html.
Diakses
pada tanggal 21 september 2015(11:08)
https://mutmainnahlatief.wordpress.com
Diakses pada tanggal 21 september
2015 (11:15)
rianamuslikhah.blogspot.co.id
Diakses
pada tanggal 21 september 2015 (11.17)
www.kompasiana.com/jokowinarto/
Diakses
pada tanggal 21 september 2015 (11:20)