Jumat, 21 Juli 2017

Pernikahan Beda Agama





PERKAWINAN  LAIN AGAMA

Allâh SWT., telah mensyari’atkan nikah bagi kaum muslimin dan menganjurkan mereka memilih perempuan-perempuan yang baik agamanya untuk dijadikan pasangan hidup. Karena kelak perempuan tersebut yang akan menjadi ibu bagi anak-anak dan pendamping mereka dalam mengarungi bahtera kehidupan. Oleh karena itu, agama ini menegaskan kepada pemeluknya untuk bersungguh-sungguh dalam memilih pendamping hidup yang bagus agama dan akhlaqnya.
Namun demikian, agama telah membolehkan bagi kaum muslimin menikah dengan orang-orang yang tidak seagama, dengan syarat dan ketentuan-ketentuan khusus. Jika ada maslahat dengan menikahinya dan tidak ada mudharat dengan hal tersebut. Namun demikian, agama Islam tidak memperkenankan pria muslim kawin dengan wanita musyrik.  Diantara syarat dan ketentuan-ketentuan menikahi wanita non Muslim yaitu :
§      Haram Menikah dengan Wanita Musyrik
Seorang Muslim diharamkan menikahi wanita kafir selain yang beragama Yahudi dan Nashrani. Demikianlah kesepakatan para ulama’ berdasarkan firman Allâh SWT :
 “Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman....”(QS.. Al-Baqarah: 221). Ayatnya berlanjut dengan,

وَلَأَمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ
“Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun Dia menarik hatimu.” (QS. Al-Baqarah : 221)

“...dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir...” (QS. Al-Mumtahanah : 10)

Nash diatas dengan jelas melarang mengawini wanita musyrik. Demikian juga pendapat para ulama menegaskan demikian.
Imam Ibnu Qudamah rahimahullaah, berkata, “tidak ada perbedaan pendapat dikalangan para ulama tentang keharaman menikahi wanita-wanita kafir dan mengonsumsi hewan sembelihan mereka.” (Al-Mughni,6/592).
Keharaman ini berlaku secara umum bagi selain wanita-wanita beragama Yahudi dan Nashrani, seperti yang beragama Budha, Hindu, orang-orang yang berpaham komunis, golongan Bahaiyyah, dan lain-lain.
§      Menikahi Wanita Ahli Kitab Menurut Hukum Asal yang Berlaku
Menikahi wanita ahli kitab yang beragama Yahudi dan Nashrani adalah hal yang dibolehkan. Namun, kebolehan ini adalah kebolehan yang bersyarat sebagaimana yang ditetapkan oleh Islam. Allâh SWT., berfirman :

الْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَهُمْ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ
   الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ

“Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al kitab sebelum kamu....” (QS. Al-Maaidah : 5)
Maksud dari ayat ini, menikahi wanita-wanita ahli kitab adalah sama dengan memakan daging sembelihan mereka. Keduanya adalah hal yang dibolehkan. Yang menguatkan hukum asal ini adalah tindakan Hudzaifah bin Al-Ayman dan Thalhah bin Ubaidillah yang menikahi wanita ahli kitab. Dari alasan dan uraian yang dikemukakan, dinyatakan bahwa pada umumnya ayat yang berisi larangan menikahi wanita- wanita kafir diantaranya adalah firman Allâh SWT., :

وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ

“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman....”(QS.. Al-Baqarah: 221).
Ayat tersebut adalah keterangan yang selanjutnya dikhususkan oleh firman-Nya yang lain :

الْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَهُمْ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ
   الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ

“Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al kitab sebelum kamu....” (QS. Al-Maaidah : 5)
Adapun riwayat yang dinukil dari Ibnu Umar RA, yang memuat pelanggaran menikahi wanita ahli kitab adalah murni merupakan hasil ijtihadnya yang tidak disetujui oleh seorang pun dari sahabat. Atau mungkin juga dipahami dari pelarangan beliau itu bahwa hal tersebut meerupakan upayanya untuk menakut-nakuti orang-orang agar tidak menikahi mereka. Karena kekhawatiran akan timbulnya berbagai dampak negatif dari pernikahan tersebut.
§      Pernikahan dengan Wanita Majusi
Para Muslim juga tidak diperbolehkan mengawini wanita Majusi (penyembah api), sebab mereka tidak termaksuk ahli kitab. Demikian pendapat jumhur ulama, dan yang dimaksud dengan ahli kitab adalah Yahudi dan Nashara. Sedangkan golongan Zhahiriyah memperbolehkan pria Muslim kawin dengan wanita-wanita majusi karena orang-orang majusi dimasukkan ke dalam kelompok ahli kitab. Abu Tsaur juga memperbolehkan berdasarkan sabda Rasulullâh SAW., yang artinya : “tetapkanlah bagi mereka jalan ahli kitab.”
Disamping itu ada ulama lain yang memperbolehkannya karena menurut satu riwayat bahwa Hudzaifah juga pernah kawin dengan wanita majusi. Demikian juga pada orang-orang majusi ditetapkan jizyah (pajak), sehingga keberadaan mereka sama dengan orang yahudi dan nashrani.
Dalam persoalan ini yang dipandang paling tepat adalah pendapat jumhur ulama, yaitu pria muslim tidak dibenarkan kawin dengan wanita majusi, sebab mereka tidak termaksuk ahli kitab, sebagaimana ditegaskan dalam firman Allâh SWT.,

أَنْ تَقُولُوا إِنَّمَا أُنْزِلَ الْكِتَابُ عَلَى طَائِفَتَيْنِ مِنْ قَبْلِنَا وَإِنْ كُنَّا عَنْ دِرَاسَتِهِمْ لَغَافِلِينَ

“(kami turunkan Al-Quran itu) agar kamu (tidak) mengatakan: "Bahwa kitab itu hanya diturunkan kepada dua golongan (yahudi dan nashrani) saja sebelum Kami, dan Sesungguhnya Kami tidak memperhatikan apa yang mereka baca.” (QS. Al-An’aam : 156)
Sekiranya orang-orang majusi dianggap sebagai ahli kitab maka dalam ayat tersebut seharusnya disebut 3 golongan, bukan 2 golongan.
Sedangkan sabda Nabi SAW., diatas adalah sebagai bukti bahwa mereka tidak memiliki kitab dan maksud hadits tersebut hanya sebatas pemberian perlindungan terhadap darah (keselamatan) mereka dan ketetapan untuk membayar jizyah (pajak) bukan maksud lain.
Mengenai riwayat Hudzaifah dianggap kurang kuat (lemah), karena menurut riwayat Abu Wail, Hudzaifah pernah kawin dengan wanita Yahudi . Begitu juga dengan riwayat Ibnu Sirin, bahwa istrinya adalah orang Nashrani.
§      Perkawinan dengan Wanita Shabi’ah
Shabi’ah adalah satu golongan dalam agama nashrani : Shabi’ah dinisbatkan kepada Shab paman nabi Nuh AS. Ada pula yang berpendapat dinamakan shabi’ah karena berpindah dari satu agama kepada agama lain.
            Ibnul Hammam mengatakan bahwa orrang-orang shabi’ah adalah orang-orang yang memadukan antara agama yahudi dan nashrani. Mereka menyembah bintang-bintang. Dalam berbagai buku hadits disebutkan, bahwa mereka termaksuk golongan ahli kitab.
            Ibnu Qudamah berkata : “para ulama berbeda pendapat tentang orang-orang shabi’ah”. Menurut riwayat Ahmad, bahwa mereka adalah orang-orang nashrani. Tetapi ditempat lain ia berkata : “pernah kudengar bahwa mereka adalah orang-orang yang sangat mengagungkan hari sabtu. Jadi mereka termaksuk orang-orang yahudi?”
            Menurut riwayat Umar RA, bahwa mereka adalah orang-orang yang sangat mengagungkan hari sabtu. Sedangkan mujahid menganggap mereka berada diantara agama yahudi dan nashrani.
Imam syafi’i mengambil jalan tengah, yaitu apabila mereka lebih mendekati keyakinan mereka kepada salah satu agama  (yahudi atau nashrani), maka orang tersebut termaksuk golongan agama itu. Bila tidak mendekati kepada kedua agama itu berarti orang itu bukan ahli kitab.
Dari uraian diatas dapat dipahamai, bahwa para ulama tetap berbeda pendapat, ada yang mengatakan termaksuk ahli kitab dan ada pula yang mengatakan tidak. Dengan demikian, maka hukum perkawinan dengan wanita shabi’ah juga  berbeda pendapat.
Abu Hanifah berpendapat boleh kawin dengan wanita shabi’ah. Sedang Abu Yusuf dan Muhammad bin Al-Hasan Asy-Syaibani tidak memperbolehkannya, karena mereka menyembah patung-patung dan bintang bintang. Pendapat madzhab Maliki juga sejalan dengan pendapat ini.
Madzhab Syafi’i dan Hambali membuat garis pembatas dalam masalah ini. Jika mereka menyerupai orang-orang yahudi atau nashrani dalam prinsip-prinsip  agamanya, maka wanita shabi’ah ini boleh dikawini. Tetapi bila berada dalam hal-hal prinsip, berarti mereka tidak termaksuk golongan yahudi atau nashrani dan berarti pula bahwa wanita shabi’ah itu tidak boleh dikawini oleh pria muslim.
§      Perkawinan dengan Wanita penyembah berhala
Para ulama telah sepakat bahwa pria muslim tidak boleh kawin dengan wanita penyembah berhala dan penyembah benda-benda lainnya, karena mereka termaksuk orang-orang kafir, sebagaimana firman Allâh SWT.,

وَلَا تُمْسِكُوا بِعِصَمِ الْكَوَافِرِ
“... dan janganlah kamu berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir...” (Al-Mumtahanah : 10)
Nash diatas cukup jelas dan tegas  tentang pengharaman mengawini wanita-wanita penyembah berhala.
§      Perkawinan Pria Muslim dengan Wanita Ahli Kitab
Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum perkawinan pria Muslim dengan wanita ahli kitab.
·         Menurut pendapat jumhur ulama, baik Hanafi ; Maliki ; Syafi’i ; maupun Hambali, seorang pria Muslim diperbolehkan kawin dengan wanita ahli kitab yang berada dalam lingkungan (kekuasaan) negara Islam (ahli Dzimmahh).
·         Golongan Syi’ah Imamiyah dan Syi’ah  Zaidiyah berpendapat, bahwa pria Muslim tidak boleh kawin dengan wanita ahli kitab.
Golongan pertama (Jumhur Ulama) mendasarkan pendapat mereka kepada beberapa dalil
1.      Firman Allâh SWT., yang berbunyi :

الْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَهُمْ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ

“Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (dan Dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al kitab sebelum kamu...” (QS. Al-Maidah : 5)
2.      Diantara para sahabat ada pula yang kawin dengan ahli kitab, seperti Utsman bin Affan mengawini Na’ilah binti al-Gharamidah (seorang wanita beragama nashrani, yang kemudian masuk Islam). Demikian juga Hudzaifah mengawini wanita Yahudi dari penduduk Madain.
3.      Jabir RA, pernah ditanya tentang perkawinan pria Muslim dengan wanita yahudi atau nashrani, beliau menjawab “kami pun pernah menikah dengan mereka pada waktu penaklukkan Kuffah bersama-sama dengan Sa’ad bin Abi Waqqash.” Golongan kedua (Syi’ah) melandaskan pendapatnya pada beberapa dalil :

وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ
“dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman......” (Qs. Al-Baqarah : 221)
Golongan ini berpendapat bahwa wanita-wanita ahli kitab itu termaksuk kafir, karena wanita-wanita ahli kitab itu telah musyrik (menyekutukan Allâh SWT) berdasarkan riwayat Ibnu Umar bahwa beliau pernah ditanya tentang hukum menggawini wanita yahudi dan nashrani. Beliau menjawab “Sesungguhnya Allâh SWT., mengharamkan wanita-wanita musyrik bagi orang-orang mukmin, saya tidak mengetahui kemusyrikan yang lebih besar daripada anggapan seorang wanita  (nashrani), bahwa tuhannya adalah Isa AS. Padahal Isa AS, hanya seorang manusia dan hamba Allâh SWT.”
Sebagaimana telah dikemukakan diatas bahwa mereka berpendapat ahli kitab itu termaksuk orang-orang kafir. Dengan demikian hukumnya tetap diharamkan, tidak boeh kawin.
Kalau kita pperhatikan ppendapat syi’ahh (Imamiyah dan zaidiyah) maka mereka menganggap bahwa ahli kitab itu musyrik. Akan tetapi di dalam Al-Qur’an sendiri dinyatakan bahwa antara mmusyrik dan ahli kitab itu tidak ssama, sbagaimana firman Allâh SWT., :

إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا أُولَئِكَ هُمْ شَرُّ الْبَرِيَّةِ
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir Yakni ahli kitab dan orang-orang yang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya. mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk.” (Al-Bayyinah : 6)
Dalam ayat diatas cukup jelas bahwa ahli kitab dan musyrik itu berbeda.
§      Syarat Seseorang Boleh Menikah dengan seorang Wanita Ahli Kitab
·         Memastikan wanita tersebut sebagai pemeluk agama Yahudi atau Nashrani yang beriman terhadap agama yang dianutnya itu, apapun madzhab yang dianutnya dalam  agama tersebut (baik katolik, protestan , ortodok, maupun yang lainnya). Hal yang terpenting bahwa wanita itu bukanlah penganut paham liberal, wanita murtad, atau tidak menganut satu pun agama (atheis).
Hal yang telah dipahami tentang kondisi dunia barat saat ini, tidak setiap anak wanita yang terlahir dari kedua orang tua yang menganut agama Nashrani, serta merta menganut agama Nashrani. Demikian juga, tidaklah seorang yang dibesarkan dalam lingkungan orang-orang beragama Nashrani lantas dinyatakan sebagai seorang Nashrani. Mungkin saja ia justru menganut paham liberal dan mungkin pula ia berada diatas agama lainnya yang ditolak oleh Islam.
·         Wanita ahli kitab yang boleh dinikahi itu adalah wanita baik-baik yang senantiasa menjaga kehormatan dirinya. Karena sesungguhnya Allâh SWT., tidaklah menghalalkan menikahi wanita ahli kitab. Bahkan, dalam ayat yang memuat penghalalan menikahi wanita ahli  kitab disebutkan batasan kehalalan itu, yaitu “al-ihshan” (menjaga kehormatan diri), sebagaimana firman-Nya :

الْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَهُمْ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ
   الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ

“Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al kitab sebelum kamu....” (QS. Al-Maaidah : 5)
Mengomentari ayat ini Imam Ibnu Katsir rahimahullaah berkata, “makna tekstual dari “al-muhshanât” adalah wanita-wanita yang senantiasa menjaga kehormatan dirinya dari perbuatan zina, sebagaimana yang disebutkan dalam ayat lainnya,

مُحْصَنَاتٍ غَيْرَ مُسَافِحَاتٍ وَلَا مُتَّخِذَاتِ أَخْدَانٍ

“....sedang merekapun wanita-wanita yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya...” (QS. An-Nisaa : 25)
Selanjutnya Ibnu Katsir berkata bahwa penafsiran inilah yang paling tepat agar seorang Muslim tidak mendapatkan kerugian ganda; menikahi wanita non muslimah (ahli kitab) dan tercoreng pula harga dirinya, sebagaimana yang disebutkan dalam pepatah, “sudah rusak, timbangannya pun kurang.” (3/42)  
Jika demikian keadaannya , sungguh merugilah laki-laki itu. Oleh karena itu, tidak boleh sekalipun seorang Muslim menikahi seorang wanita yang bersedia menyerahkan kehormatannya kepada siapa saja. Namun, wajib baginya untuk memilih wanita yang terhormat; bersih; dan jauh dari berbagai syubhat yang mencoreng harga dirinya.
Dari uraian ini dan mengingat bahwa jenis wanita-wanita bersih di negara barat saat ini amatlah sulit didapatkan. Sebagaimana dinyatakan oleh badan-badan survei mereka, yaitu saat ini keberadaan gadis di negara-negara tersebut dianggap tidak memiliki nilai sosial, akan dicerca, dan dikucilkan. Menimbang keadaan ini dan mengingat bahwa agama mensyaratkan keberadaan wanita ahli kitab itu sebagai wanita yang bersih dan suci harga dirinya, tidak halal pria Muslim menikah dengan wanita-wanita ahli kitab tersebut hingga ia betul-betul yakin bahwa wanita yang akan dikawininya tersebut bersih dan suci harga dirinya.
Syaqiq bin Salamah Rahimahullaah, berkata “Hudzaifah menikah dengan seorang wanita yahudi. Lalu Umar menulis surat kepadanya untuk memintanya agar mentalak wanita itu. Memaca surat itu, Hudzaifah membalasnya,”apakah engkau menyangka menikahinya adalah haram? Karenanya saya harus mentalaknya?”. Umar pun berkata “saya tidak meyakini bahwa menikahinya adalah haram. Tetapi  saya khawatir kalau-kalau kalian menikahi wanita-wanita pelacur dari kalangan mereka.” ” {Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dalam tafsirnya (4223), Abdur Razaq (3/296), dan Ibnu Katsir dalam tafsirnya (1/583)}
·         Sebagian ulama mensyaratkan keberadaan wanita ahli kitab itu bukan wanita yang memusuhi , memerangi Islam, dan memiliki pola pemikiran demikian. Ibnu Abbas RA, berkata “di antara wanita ahli kitab ada orang-orang yang halal bagi kita dan ada pula yang haram.” Kemudian beliau membaca firman Allâh SWT.,

قَاتِلُوا الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَا بِالْيَوْمِ الْآَخِرِ وَلَا يُحَرِّمُونَ مَا حَرَّمَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَلَا يَدِينُونَ دِينَ الْحَقِّ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حَتَّى يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَنْ يَدٍ وَهُمْ صَاغِرُونَ

“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah SWT., dan tidak (pula) kepada hari Kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allâh SWT., dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allâh SWT), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah (upeti) dalam keadaan rendah dan hina.” (At-Taubah : 29)
Kata Ibnu Abbas, “Barang siapa yang membayar jizyah, boleh menikahi wanita-wanitanya. Barang siapa yang tidak membayar jizyah, tidaklah halal menikahi wanita-wanitanya.”
Pandangan dari Ibnu Abbas ini telah disampaikan kepada Ibrahim An-Nakha’i dan beliau menganggapnya baik. (lihat tafsir At-Thabari, 9/588). Diantara ulama kontemporer yang mendukung pendapat ini adalah Syekh Al-Qaradhawi hafizhahullaah.
·        Tidak ada mudharat yang ditimbulkan atau diprediksi secara kuat akan timbul dengan menikahi ahli kitab tersebut. Hal ini disebabkan karena pemanfaatan perkara-perkara mubah dibatasi dengan mudharat yang timbul atau diprediksi secara kuat akan timbul akibatnya. Semakin besar kemudharatan itu , pelanggaran pun akan semakin tegas. Rasulullâh SAW., bersabda, “Tidak boleh melakukan kemudharatan untuk diri dan orang lain.”
§      Diantara Dampak Negatif yang Ditimbulkan dengan Menikahi Wanita Ahli Kitab
1.      Merebaknya pernikahan dengan wanita-wanita ahli kitab akan berdampak meningkatkan jumlah perawan tua di kalangan perempuan-perempuan Muslimah. Keadaan demikian akan sangat terasa bagi perempuan-perempuan yang bermukim dinegara-negara minoritas Muslim. Jika kaum lelaki Muslim lebih memilih menikah dengan  wanita-wanita ahli kitab, lantas siapa lagi yang akan menikahi mereka, sedangkan mereka tidak dibolehkan menikah dengan laki-laki kafir? Oleh karena itu Ummar RA, meminta Thalhah dan Hudzaifah menceraikan istri mereka yang berasal dari kalangan ahli kitab. (Al-Mushannaf, 3/296)
Mengomentari permintaan Umar tersebut, Imam Ibnu Jarir berkata, (4/366), “Umar tidak senang akan perbuatan Thalhah dan Hudzaifah yang menikahi wanita ahli kitab. Karena khawatir orang-orang akan mencontoh keduanya atau karena alasan-alasan lainnya. Karena itu, beliau meminta keduanya untuk menceraikann istrinya itu.”
2.      Keputusan untuk mengatur bentuk pernikahan tidak berada di tangan Muslim. Pada era sekarang ini, barang siapa menikah di negri kafir, ia akan menikah sesuai dengan aturan yang berlaku dinegara tersebut, yang dipenuhi dengan aturan-aturan zalim yang tidak sesuai dengan aturan-aturan Islam. Dalam aturan mereka, tidak dikenal adanya wilayah hak suami atas istri dan anak-anaknya. Jadi pada suatu ketika nanti jika sang istri tidak senang terhadap suaminya, sang istri itu dapat dengan leluasa memutuskan ikatan pernikahan dan mengambil anak-anaknya dengan kekuatan perundang-undangan yang dimiliki negaranya dan dengan bantuan dari pihak konsulat negaranya di negara manapun sang wanita itu berada. Hal ini tentu akan menjadikan anak-anak mereka terlantar, khususnya secara ruhiyah.
3.      Jika ia berdomisili di tempat yang dikhawatirkan akan memaksa anak-anaknya memeluk agama kufur atau ia berada pada sebuah keadaaan yang mengharuskannya menyerahkan pendidikan sang anak kepada ibunya yang beragama selain Islam, sebagaimana yang telah terjadi pada beberapa anak kaum Muslimin. Ibnu jarir menjelaskan satu diantara syarat seseorang boleh menikahi wanita ahli kitab adalah “Wanita tersebut berada pada sebuah tempat yang sang suami tidak khawatir terhadap anaknya, bila kelak bisa saja akan dipaksa memeluk agama kufur.”
Berdasarkan uraian tadi, lebih utama bagi seorang Muslim saat ini untuk tidak menikah dengan wanita ahli kitab. Karena adanya kondisi sulit untuk mewujudkan syarat-syarat yang telah disebutkan dan banyak orang sudah terjebak pada dampak negatif sebagaimana telah diprediksikan. Sementara disisi lain, Rasulullaah SAW., menegaskan wasiatnya untuk menikah tidak saja kepada perempuan Muslimah, tetapi lebih memfokuskan anjuran itu kepada perempuan-perempuan yang lebih baik iman dan taqwanya diantara mereka.



Daftar Pustaka


Hasan, M. Ali, (2000), Masail Fiqhiyah Al-Haditsah, Pada Masalah-masalah Kontemporer Hukum Islam, Jakarta : PT. Raja Grafindo Pesrsada (Rajawali Pers)
  
Salim Bahammam, Dr. Fahad, Fikih Modern Praktis, 101 Panduan Hidup Muslim Sehari-hari, Jakarta: Kalil

(2010), Mushaf Wardah, Bandung: Jabal



































Down Arrow: Tidak Down Arrow: Tidak



Down Arrow: Tidak
 

Jumat, 14 Juli 2017

Firqah Khawarij



BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sejak islam lahir sampai kepada masa kekhalifahan Usman bin Affan merupakan satu kesatuan politik dan wilayah yang jelas dibawah seorang kepala negara, atau khalifah yang sekaligus sebagai imam. Tetapi dengan peristiwa tahkim (yang terjadi pada saat perang siffin) yang demikian berarti dunia islam telah terpecah menjadi dua wilayah dan kekhalifahan: imam Ali ditimur- semenanjung Arab, Irak dan Persia, dan Mu’awiyah dibagian barat- meliputi Syam(Suria) dan Mesir. Sudah tentu hal ini membawa terpecahnya umat Islam yang berakibat jauh dalam sejarah.

Pertentangan dalam pengikut-pengikut Imam Ali (pada saat memutuskan untuk menerima tahkim atau tidak menerimanya) ini telah melahirkan dua golongan yang saling berlawanan. Satu golongan setuju dengan keputusan tahkim dan golongan yang lain menentang persetujuan itu dan menuduh lawan mereka kafir. Dari peristiwa itu kemudian lahir dua golongan dari rahim yang sama: satu golongan yang tetap setia pada Imam Ali, dan mereka ini yang kemudian dikenal dengan nama syi’ah(golongan,pengikut setia), dan satu lagi golongan yang membangkang dan mengkafirkan siapa saja yang menyetujui tahkim, dan mereka ini dikenal dengan nama khawarij.

Kata Syi’ah pada waktu itu sudah tentu bukan dalam pengertian istilah teknis seperti pengertian yang timbul kemudian walaupun ini menjadi cikal bakalnya. Lahirnya dua golongan yang saling berlawanan itu karna tahkim, satu golongan yang pro Ali dan membelanya mati-matian, kemudian disebut syi’at Ali, pengikut Ali yang setia, atau syi’ah saja, dan golongan yang menentang Ali mati-matian. Mereka keluar dari barisan Ali, dan kemudian menjadi golongan khawarij, yang umumnya menganut garis keras yang dengan mudah membunuh siapa saja yang tidak sehaluan dengan mereka. Pengikut-pengikut Imam Ali dari kalangan garis keras ini menyalahkan Imam Ali yang menunjuk Abu Musa al-Asy’ari dan sangat menyesalkan keputusan Imam sebelum itu mau menerima tahkim. Menurut mereka, seharusnya Imam Ali memaksa mereka agar kembali kepada keadilan dan kebenaran, bukan sebaliknya malah mengikuti perbuatan salah.

 

BAB II

PEMBAHASAN

A.    Pengertian Khawarij

Kata “al-khawarij” berasal dari kata kerja kharaja, harfiah berarti keluar, kharaja ‘alaa, “memberontak kepada”, yang umumnya berarti memberontak kepada imam, pemimpin, kepala negara atau pemerintahan(baik itu dimasa para sahabat, masa al-khulafa’ ar-rasyidun, masa tabi’in, atau masa imam zaman manapun). Al-Khawarij sudah merupakan istilah dan nama dari sebuah kelompok yang memberontak kepada Imam Ali. Al-Khawarij punya beberapa nama lagi, seperti Al-Haruuriiyah, Al-Muhakkimah, Al-Gulaat, An-Nawaasib, dan sekian banyak lagi nama lainnya. Sumber lain mengatakan bahwa kata khawarij menurut bahasa merupakan jamak dari kharajii, secara harfiah berarti orang-orang yang keluar, mengungsi atau mengasingkan diri. Istilah ini bersifat umum yang mencakup semua aliran dalam Islam yang memisahkan diri atau keluar dari jama’ah umat, sebagaimana yang dijelaskan oleh Asy-Syahrastani: “Tiap yang memberontak kepada imam yang benar yang disepakati oleh jama’ah dinamakan khawarij”. Secara historis khawarij merupakan “orang-orang yang keluar dari barisan Ali”. Awalnya mengakui kekuasaan Ali bin Abi Thalib, lalu menolaknya. Namun pada perkembangan selanjutnya mereka juga adalah kelompok yang tidak mengakui kepemimpinan Mu’awiyah bin Abi Sufyan.

B.     Sejarah Berdirinya Kelompok Khawarij

Seperti sudah umum diketahui, bahwa setelah khalifah Usman terbunuh, Mu’awiyah(gubernur suria ketika itu) melancarkan tuntutan pembalasan atas kematian itu, dengan latar belakang pertentangan religio-politik sekitar soal kekhalifahan, yang berlanjut sampai terjadinya pertempuran sengit di Siffin (657 M).Kelompok ini(khawarij) lahir pada waktu proses arbitrasi. Peperangan Siffin, pada hari pertempuran terakhirnya menjurus ke kejayaan imam Ali. Mu’awiyah dalam musyawarahnya dengan ‘Amr ibn ul-‘Ash menyadarai suatu taktik jitu. Ia sadar bahwa seluruh usahanya sia-sia dan bahwa ia berada ditepi jurang kekalahan.

Ia melihat bahwa tidak ada jalan lain untuk menyelamatkan dirinya kecuali dengan menciptakan kerancuan, lalu ia perintahkan agar Al-Qur’an diangkat diujung tombak dan supaya kitab suci itu dipergunakan untuk arbitrasi antara kedua belah pihak. Pihak Ali tetap bertempur terus, lalu ada sebagian pengikut Ali yang meminta kepadanya agar mau menerima tahkim. Akhirnya imam Ali menerima tahkim dengan rasa terpaksa. Kemudian diperoleh kesepakatan masing-masing kubu mengangkat seorang hakim. Mu’awiyah memilih ‘Amr ibn ul-‘Ash. Semula Ali sendiri bermaksud memilih ‘Abdullah bin Abbas, tetapi orang-orang khawarij ini menghendaki Abu Musa Al-Asy’ari. Tahkim berlangsung dengan berkesudahan turunnya imam Ali dari kekhalifahan dan tetapnya Mu’awiyah, yang berarti kemenangan baginya.

 

 Melihat kejadian ini, orang-orang khawarij yang awalnya menyetujui adanya tahkim beralih pendirian, merasa dikecewakan sekali, mereka membencinya(imam Ali) karna dianggap lemah dalam menegakkan kebenaran, mau menerima tahkim yang mengecewakan, sebagaimana mereka juga membenci Mu’awiyah karna telah melawan imam Ali (khalifah yang sah).tahkim dianggap sebagai dosa besar, bukan mencari penyelesaian umat. Mereka menyatakan konfrontasinya dengan pihak Mu’awiyah. Mereka menuntut agar sayidina Ali mau mengakui kesalahannya, karna mau menerima tahkim. Mereka berpendapat bahwa orang-orang yang menyetujui keputusan tahkim dihukumi kafir, sebagaimana orang-orang khawarij sendiri juga menjadi kafir, hanya saja mereka segera bertaubat. Bila sayidina Ali mau bertaubat, maka mereka mau bersedia lagi bergabung dengannya untuk menghadapi Mu’awiyah. Tetapi bila beliau tidak bersedia bertaubat, maka orang-orang khawarij menyatakan perang terhadapnya, sekaligus juga menyatakan perang terhadap Mu’awiyah. Mereka yakin bahwa tahkim itu mengingkari Al-Qur’an, mereka ini kemudian “keluar”(kharajuu) dari barisan imam Ali, dan karna demikian mereka mendapat sebutan “khawaarij”, yang berarti “orang-orang yang memberontak”(kepada Ali). Semboyan mereka adalah “laa hukma illaa lillaah”(tidak ada hukum kecuali dari Allah SWT). Bila ada pihak dari imam Ali yang berpidato, mereka akan mengganggunya dan membuat kehebohan dengan berteriak-teriak “laa hukma illaa lillaah”(tidak ada hukum kecuali dari Allah SWT).

Demikian pula apabila pihak Mu’awiyah berpidato, mereka sengaja mengganggunya dan membikin keonaran dengan berteriak-teriak “laa hukma illaa lillaah”(tidak ada hukum kecuali dari Allah SWT). Kaum khawarij kadang-kadang menamai diri mereka dengan “kaum syurah” (orang-orang yang mengorbankan dirinya untuk kepentingan keridhaan Allah SWT), mereka mendasarkannya pada ayat 207 dalam surah Al-Baqarah: “Dan diantara manusia ada yang mengorbankan dirinya karna mencari keridhaan Allah SWT., maha penyantun kepada hamba-hambanya”(QS.Al-Baqarah: 207). Jumlah mereka sekitar 12.000 orang, mula-mula bermarkas di harura’, dekat kufah. Gerakan khawarij berpusat di dua tempat, satu markas di Bathaih yang menguasai dan mengontrol kaum khawarij yang berada di Persia dan sekeliling Irak. Tokoh-tokohnya ialah Nafi’ bin Azraq dan Qathar bin Faja’ah. Lainnya bermarkas di Arab daratan yang menguasai kaum khawarij yang berada di Yaman, Hadlramaut dan Thaif. Tokoh-tokohnya adalah Abu Thaluf, Najdat bin ‘Ami dan Abu Fudaika.Sampai sekarang, khawarij masih terdapat di Tripoli Barat, Aljazair, Pulau Zanzibar dan Oman di Jazirah Arab, dengan jumlah seluruhnya hanya sekitar 25.000 orang saja.

C.     Sebab-sebab Berdirinya Kelompok Khawarij

a). Perseteruan Sekitar Masalah Khilafah

Kemungkinan ini merupakan sebab yang paling kuat dalam kemunculan khawarij dan pemberontakan mereka, karna mereka memiliki pandangan yang khusus dan keras dalam hal ini, sehingga menganggap penguasa yang ada pada waktu itu tidak berhak menjadi khalifah bagi kaum muslimin. Ditambah lagi dengan keadaan politik yang tidak menentu yang membuat mereka berani untuk memberontak terhadap para penguasa, apalagi mereka menganggap bahwa perselisihan antara Ali dan Mu’awiyah adalah perselisihan memperebutkan kursi kekhalifahan.

b). Permasalahan Tahkim

inipun menjadi sebab yang kuat dari pemberontakan dan kemunculan khawarij. Karna mereka mengkafirkan Ali lantaran keridhaan beliau dalam hal ini.

c). Fanatisme Kesukuan

Ini merupakan salah satu dari sebab-sebab munculnya khawarij. Fanatisme kesukuan ini telah hilang pada zaman Rasulullah SAW., dan Abu Bakar Ash-Shiddiq, kemudian muncul kembali pada zaman pemerintahan Usman bin Affan dan yang setelahnya. Pada masa Usman bin Affan fanatisme tersebut mendapat kesempatan untuk berkembang karna terjadi persaingan dalam memperebutkan jabatan-jabatan penting dalam kekhalifahan sehingga Usman di tuduh mengadakan gerakan nepotisme dengan mengangkat banyak dari keluarganya untuk menjabat pada jabatan-jabatan strategis di pemerintahannya. Hal inilah yang dijadikan hujjah oleh mereka untuk mengadakan kudeta terhadapnya.

d). Faktor Ekonomi

Hal ini dapat dilihat dari kisah Dzul Khuwaishirah bersama Rasulullah SAW., dan kudeta berdarahnya mereka terhadap Usman bin Affan. Ketika mereka merampas dan merampok harta baitul maal langsung setelah membunuh Usman, demikian juga dendam mereka terhadap Ali dalam perang jamal. Ketika Ali melarang mereka mengambil wanita dan anak-anak sebagai budak rampasan hasil perang sebagaimana perkataan mereka terhadap Ali: “Awal yang membuat kami dendam padamu adalah ketika kami berperang bersamamu dihari peperangan jamal dan pasukan jamal kalah, engkau memperbolehkan kami mengambil apa yang kami temukan dari harta benda dan engkau mencegah kami dari mengambil wanita-wanita mereka”.

D.    Hasil Pemikiran Tokoh-tokoh Khawarij

a). Persoalan Khalifah

Mereka mengakui kekhalifahan Abu Bakar dan Umar ibn Khaththaab sebagai khalifah yang benar, karna mereka berkeyakinan bahwa keduanya telah dipilih dengan benar dan bahwa mereka tidak menyimpang dari kepentingan terbaik dan tidak melakukan hal yang bertentangan dengan tujuan terbaik ini. Mereka memang juga mengakui pemilihan Ali dan Utsman sebagai benar.

Tetapi kata mereka, menjelang akhir tahun keenam dari kekhalifahannya, Utsman menyimpang dan mengabaikan kepentingan pokok kaum muslimin. Karna itu ia harus dimakzulkan dari jabatan kekhalifahan, tetapi karna ia bertahan terus dengan jabatan itu maka ia dibunuh sebagai seorang kafir dan pembunuhannya adalah kewajiban agama. Mengenai Ali karna ia membenarkan arbitrasi dan tidak segera bertaubat, maka ia dibunuh sebagai orang kafir dan membunuhnya juga adalah kewajiban agama. Jadi mereka menolak kekhalifahan Utsman setelah tahun ketujuhnya, dan kekhalifahanAli setelah arbitrasi. Mereka berpendapat bahwa pemerintahan harus dipilih melalui pemilihan bebas dan bahwa orang yang pantas menduduki jabatan ini adalah yang memiliki kelayakan dalam iman dan keshalehan, baik ia berasal dari suku Quraisy atau bukan, dari suku terpandang dan masyhur atau dari suku sepele dan terbelakang, Arab atau Ajam.

b). Persoalan Dosa

Dosa, yang ada hanyalah dosa besar saja. Tidak ada pembagian dosa besar dan dosa kecil. Semua pendurhakaan terhadap Allah SWT., adalah berakibat dosa besar. Latar belakang khawarij menetapkan dosa itu hanya satu macamnya(yaitu dosa besar), agar dengan demikian orang islam yang tidak sejalan dengan pendiriannya dapat diperangi dan dapat dirampas harta bendanya, dengan dalih mereka berdosa dan setiap yang berdosa adalah kafir.

c). Persoalan Fatwa Kafir

Mereka memandang Ali, Utsman, Mu’awiyah, dan para prajurit yang terlibat dalam perang jamal serta mereka yang membenarkan arbitrasi sebagai kafir, kecuali mereka yang meskipun menyokong arbitrasi tetapi bertobat setelah itu. Mereka mengkafirkan siapa saja yang tidak percaya akan kekafiran Ali, Utsman, Mu’awiyah, para prajurit yang terlibat dalam perang jamal dan mereka yang menerima dan membenarkan arbitrase.

d). Persoalan Iman

Mereka menganggap bahwa iman itu bukan hanya i’tikad saja/iman itu bukan hanya sekedar membenarkan dalam hati dan ikrar lisan saja, tetapi amal ibadah juga menjadi bagian dari iman. Pandangan khawarij sangat radikal dan sempit, mereka beranggapan bahwa seseorang tidak dikatakan sebagai mu’min kecuali orang-orang yang terpelihara dari dosa besar.

Mereka juga beranggapan bahwa barang siapa yang tidak mengerjakan shalat, puasa, zakat, dan lain sebagainya, maka orang tersebut telah menjadi kafir.

E.     Tokoh-tokoh Khawarij

Urwah bin Hudair, Mustarid bin Sa’ad, Hausarah Al-Asadi, Quraib bin Maruah, Nafi’ bin Al-Azraq, ‘Abdullah bin Basyir, Qathar bin Faja’ah, Abu Thaluf, Najdat bin ‘Ami, Abu Fudaika.

F.      Aliran-aliran Dalam Kelompok Khawarij

1). Al-Muhakhimatul Ula

2). Al-Azariqah

3). An-Najdat

4). Ash-Shufriyyah

5). Al-‘Ajariyyah

6). Al-Khazamiyyah

7). Asy-Syuaibiyyah

8). Al-Khalfiyyah

9). Al Ma’lumiyyah Wal Majhuliyyah

10). Ash-Sholtiyyah

11). Al-Hamziyyah

12). Ats-Tsa’badiyyah

13). Al-Ma’badiyyah

14). Al-Akhnasiyyah

15). Asy-Syaibiniyyah

16). Ar-Rasyidiyyah

17). Al-Mukramiyyah

18). Al-Ibadliyyah

19). Al-Hafshiyyah

20). Al-Haritsiyyah

21). Asy-Syabibiyah

 

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Firqah Khawarij sekalipun asal mula gerakannya adalah masalah politik semata-mata, namun kemudian berkembang menjadi corak keagamaan. Mereka berwatak keras, tanpa perhitungan taktik strategi, tanpa berfikir panjang atas kekuatan yang ada padanya sendiri dan kekuatan yang ada pada pihak  lawan . hal ini merupakan pencerminan tabiat orang Arab Badui yang mudah emosi.Firqah

DAFTAR PUSTAKA

 

A.Nasir,Drs.H.Sahilun.Pengantar Ilmu Kalam: Rajawali Pers.

Muthahhari, Murtadha. 2005. Ali bin Abi Thalib ,Kekuatan dan Kesempurnaannya.Bandung: Penerbit Marja .

Audah, Ali.2008. Ali bin Abi Talib Sampai Kepada Hasan dan Husain. Bogor: Pustaka Litera AntarNusa.

 

 

 

 

  By Khairunisa Widiastuti Pontianak, 23 Oktober 2021 (07.37 WIB)   Dilarang Fanatik   Kepercayaanku pada kata-kata ‘alim dan ‘ula...