PERKAWINAN LAIN
AGAMA
Allâh SWT., telah mensyari’atkan nikah bagi kaum muslimin
dan menganjurkan mereka memilih perempuan-perempuan yang baik agamanya untuk
dijadikan pasangan hidup. Karena kelak perempuan tersebut yang akan menjadi ibu
bagi anak-anak dan pendamping mereka dalam mengarungi bahtera kehidupan. Oleh
karena itu, agama ini menegaskan kepada pemeluknya untuk bersungguh-sungguh
dalam memilih pendamping hidup yang bagus agama dan akhlaqnya.
Namun demikian, agama telah membolehkan bagi kaum
muslimin menikah dengan orang-orang yang tidak seagama, dengan syarat dan
ketentuan-ketentuan khusus. Jika ada maslahat dengan menikahinya dan tidak ada
mudharat dengan hal tersebut. Namun demikian, agama Islam tidak memperkenankan
pria muslim kawin dengan wanita musyrik. Diantara syarat dan ketentuan-ketentuan
menikahi wanita non Muslim yaitu :
§
Haram
Menikah dengan Wanita Musyrik
Seorang Muslim diharamkan menikahi wanita kafir selain
yang beragama Yahudi dan Nashrani. Demikianlah kesepakatan para ulama’
berdasarkan firman Allâh SWT :
“Dan janganlah kamu menikahi
wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman....”(QS.. Al-Baqarah: 221). Ayatnya berlanjut dengan,
وَلَأَمَةٌ
مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ
“Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari
wanita musyrik, walaupun Dia menarik hatimu.” (QS. Al-Baqarah : 221)
“...dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan)
dengan perempuan-perempuan kafir...” (QS. Al-Mumtahanah : 10)
Nash diatas dengan jelas melarang mengawini wanita
musyrik. Demikian juga pendapat para ulama menegaskan demikian.
Imam Ibnu Qudamah rahimahullaah, berkata, “tidak ada
perbedaan pendapat dikalangan para ulama tentang keharaman menikahi
wanita-wanita kafir dan mengonsumsi hewan sembelihan mereka.” (Al-Mughni,6/592).
Keharaman ini berlaku secara umum bagi selain
wanita-wanita beragama Yahudi dan Nashrani, seperti yang beragama Budha, Hindu,
orang-orang yang berpaham komunis, golongan Bahaiyyah, dan lain-lain.
§
Menikahi
Wanita Ahli Kitab Menurut Hukum Asal yang Berlaku
Menikahi wanita ahli kitab yang beragama Yahudi dan
Nashrani adalah hal yang dibolehkan. Namun, kebolehan ini adalah kebolehan yang
bersyarat sebagaimana yang ditetapkan oleh Islam. Allâh SWT., berfirman :
الْيَوْمَ
أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ
لَكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَهُمْ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ
الْمُؤْمِنَاتِ
وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ
“Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan
(sembelihan) orang-orang yang diberi Al kitab itu halal bagimu, dan makanan
kamu halal (pula) bagi mereka. (dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga
kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga
kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al kitab sebelum kamu....” (QS.
Al-Maaidah : 5)
Maksud dari ayat ini, menikahi wanita-wanita ahli kitab
adalah sama dengan memakan daging sembelihan mereka. Keduanya adalah hal yang
dibolehkan. Yang menguatkan hukum asal ini adalah tindakan Hudzaifah bin
Al-Ayman dan Thalhah bin Ubaidillah yang menikahi wanita ahli kitab. Dari
alasan dan uraian yang dikemukakan, dinyatakan bahwa pada umumnya ayat yang
berisi larangan menikahi wanita- wanita kafir diantaranya adalah firman Allâh
SWT., :
وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى
يُؤْمِنَّ
“Dan
janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman....”(QS.. Al-Baqarah: 221).
Ayat tersebut adalah keterangan yang selanjutnya
dikhususkan oleh firman-Nya yang lain :
الْيَوْمَ
أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ
لَكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَهُمْ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ
الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ
الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ
“Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan
(sembelihan) orang-orang yang diberi Al kitab itu halal bagimu, dan makanan
kamu halal (pula) bagi mereka. (dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga
kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga
kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al kitab sebelum kamu....” (QS.
Al-Maaidah : 5)
Adapun riwayat yang dinukil dari Ibnu Umar RA, yang
memuat pelanggaran menikahi wanita ahli kitab adalah murni merupakan hasil
ijtihadnya yang tidak disetujui oleh seorang pun dari sahabat. Atau mungkin
juga dipahami dari pelarangan beliau itu bahwa hal tersebut meerupakan upayanya
untuk menakut-nakuti orang-orang agar tidak menikahi mereka. Karena
kekhawatiran akan timbulnya berbagai dampak negatif dari pernikahan tersebut.
§
Pernikahan
dengan Wanita Majusi
Para Muslim juga tidak diperbolehkan mengawini wanita
Majusi (penyembah api), sebab mereka tidak termaksuk ahli kitab. Demikian
pendapat jumhur ulama, dan yang dimaksud dengan ahli kitab adalah Yahudi dan Nashara.
Sedangkan golongan Zhahiriyah memperbolehkan pria Muslim kawin dengan wanita-wanita
majusi karena orang-orang majusi dimasukkan ke dalam kelompok ahli kitab. Abu
Tsaur juga memperbolehkan berdasarkan sabda Rasulullâh SAW., yang artinya :
“tetapkanlah bagi mereka jalan ahli kitab.”
Disamping itu ada ulama lain yang memperbolehkannya
karena menurut satu riwayat bahwa Hudzaifah juga pernah kawin dengan wanita
majusi. Demikian juga pada orang-orang majusi ditetapkan jizyah (pajak),
sehingga keberadaan mereka sama dengan orang yahudi dan nashrani.
Dalam persoalan ini yang dipandang paling tepat adalah
pendapat jumhur ulama, yaitu pria muslim tidak dibenarkan kawin dengan wanita
majusi, sebab mereka tidak termaksuk ahli kitab, sebagaimana ditegaskan dalam
firman Allâh SWT.,
أَنْ
تَقُولُوا إِنَّمَا أُنْزِلَ الْكِتَابُ عَلَى طَائِفَتَيْنِ مِنْ قَبْلِنَا
وَإِنْ كُنَّا عَنْ دِرَاسَتِهِمْ لَغَافِلِينَ
“(kami turunkan Al-Quran itu) agar kamu (tidak)
mengatakan: "Bahwa kitab itu hanya diturunkan kepada dua golongan (yahudi
dan nashrani) saja sebelum Kami, dan Sesungguhnya Kami tidak memperhatikan apa
yang mereka baca.” (QS. Al-An’aam : 156)
Sekiranya orang-orang majusi dianggap sebagai ahli kitab
maka dalam ayat tersebut seharusnya disebut 3 golongan, bukan 2 golongan.
Sedangkan sabda Nabi SAW., diatas adalah sebagai bukti
bahwa mereka tidak memiliki kitab dan maksud hadits tersebut hanya sebatas
pemberian perlindungan terhadap darah (keselamatan) mereka dan ketetapan untuk
membayar jizyah (pajak) bukan maksud lain.
Mengenai riwayat Hudzaifah dianggap kurang kuat (lemah),
karena menurut riwayat Abu Wail, Hudzaifah pernah kawin dengan wanita Yahudi .
Begitu juga dengan riwayat Ibnu Sirin, bahwa istrinya adalah orang Nashrani.
§
Perkawinan
dengan Wanita Shabi’ah
Shabi’ah adalah satu golongan dalam agama nashrani :
Shabi’ah dinisbatkan kepada Shab paman nabi Nuh AS. Ada pula yang berpendapat
dinamakan shabi’ah karena berpindah dari satu agama kepada agama lain.
Ibnul Hammam mengatakan bahwa
orrang-orang shabi’ah adalah orang-orang yang memadukan antara agama yahudi dan
nashrani. Mereka menyembah bintang-bintang. Dalam berbagai buku hadits
disebutkan, bahwa mereka termaksuk golongan ahli kitab.
Ibnu Qudamah berkata : “para ulama berbeda
pendapat tentang orang-orang shabi’ah”. Menurut riwayat Ahmad, bahwa mereka
adalah orang-orang nashrani. Tetapi ditempat lain ia berkata : “pernah kudengar
bahwa mereka adalah orang-orang yang sangat mengagungkan hari sabtu. Jadi
mereka termaksuk orang-orang yahudi?”
Menurut riwayat Umar RA, bahwa
mereka adalah orang-orang yang sangat mengagungkan hari sabtu. Sedangkan
mujahid menganggap mereka berada diantara agama yahudi dan nashrani.
Imam syafi’i mengambil jalan tengah, yaitu apabila mereka
lebih mendekati keyakinan mereka kepada salah satu agama (yahudi atau nashrani), maka orang tersebut
termaksuk golongan agama itu. Bila tidak mendekati kepada kedua agama itu
berarti orang itu bukan ahli kitab.
Dari uraian diatas dapat dipahamai, bahwa para ulama
tetap berbeda pendapat, ada yang mengatakan termaksuk ahli kitab dan ada pula
yang mengatakan tidak. Dengan demikian, maka hukum perkawinan dengan wanita
shabi’ah juga berbeda pendapat.
Abu Hanifah berpendapat boleh kawin dengan wanita
shabi’ah. Sedang Abu Yusuf dan Muhammad bin Al-Hasan Asy-Syaibani tidak
memperbolehkannya, karena mereka menyembah patung-patung dan bintang bintang.
Pendapat madzhab Maliki juga sejalan dengan pendapat ini.
Madzhab Syafi’i dan Hambali membuat garis pembatas dalam
masalah ini. Jika mereka menyerupai orang-orang yahudi atau nashrani dalam
prinsip-prinsip agamanya, maka wanita shabi’ah
ini boleh dikawini. Tetapi bila berada dalam hal-hal prinsip, berarti mereka
tidak termaksuk golongan yahudi atau nashrani dan berarti pula bahwa wanita
shabi’ah itu tidak boleh dikawini oleh pria muslim.
§
Perkawinan
dengan Wanita penyembah berhala
Para ulama telah sepakat bahwa pria muslim tidak boleh
kawin dengan wanita penyembah berhala dan penyembah benda-benda lainnya, karena
mereka termaksuk orang-orang kafir, sebagaimana firman Allâh SWT.,
وَلَا
تُمْسِكُوا بِعِصَمِ الْكَوَافِرِ
“... dan janganlah kamu berpegang pada tali (perkawinan)
dengan perempuan-perempuan kafir...” (Al-Mumtahanah : 10)
Nash diatas cukup jelas dan tegas tentang pengharaman mengawini wanita-wanita
penyembah berhala.
§
Perkawinan
Pria Muslim dengan Wanita Ahli Kitab
Para
ulama berbeda pendapat mengenai hukum perkawinan pria Muslim dengan wanita ahli
kitab.
·
Menurut
pendapat jumhur ulama, baik Hanafi ; Maliki ; Syafi’i ; maupun Hambali, seorang
pria Muslim diperbolehkan kawin dengan wanita ahli kitab yang berada dalam lingkungan
(kekuasaan) negara Islam (ahli Dzimmahh).
·
Golongan
Syi’ah Imamiyah dan Syi’ah Zaidiyah berpendapat,
bahwa pria Muslim tidak boleh kawin dengan wanita ahli kitab.
Golongan pertama (Jumhur Ulama) mendasarkan pendapat
mereka kepada beberapa dalil
1.
Firman
Allâh SWT., yang berbunyi :
الْيَوْمَ
أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ
لَكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَهُمْ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ
وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ
“Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. makanan
(sembelihan) orang-orang yang diberi Al kitab itu halal bagimu, dan makanan
kamu halal (pula) bagi mereka. (dan Dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga
kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga
kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al kitab sebelum kamu...” (QS.
Al-Maidah : 5)
2.
Diantara
para sahabat ada pula yang kawin dengan ahli kitab, seperti Utsman bin Affan
mengawini Na’ilah binti al-Gharamidah (seorang wanita beragama nashrani, yang
kemudian masuk Islam). Demikian juga Hudzaifah mengawini wanita Yahudi dari
penduduk Madain.
3.
Jabir
RA, pernah ditanya tentang perkawinan pria Muslim dengan wanita yahudi atau
nashrani, beliau menjawab “kami pun pernah menikah dengan mereka pada waktu
penaklukkan Kuffah bersama-sama dengan Sa’ad bin Abi Waqqash.” Golongan kedua
(Syi’ah) melandaskan pendapatnya pada beberapa dalil :
وَلَا
تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ
“dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik sebelum
mereka beriman......” (Qs. Al-Baqarah : 221)
Golongan ini berpendapat bahwa wanita-wanita ahli kitab
itu termaksuk kafir, karena wanita-wanita ahli kitab itu telah musyrik
(menyekutukan Allâh SWT) berdasarkan riwayat Ibnu Umar bahwa beliau pernah
ditanya tentang hukum menggawini wanita yahudi dan nashrani. Beliau menjawab
“Sesungguhnya Allâh SWT., mengharamkan wanita-wanita musyrik bagi orang-orang
mukmin, saya tidak mengetahui kemusyrikan yang lebih besar daripada anggapan
seorang wanita (nashrani), bahwa tuhannya
adalah Isa AS. Padahal Isa AS, hanya seorang manusia dan hamba Allâh SWT.”
Sebagaimana telah dikemukakan diatas bahwa mereka
berpendapat ahli kitab itu termaksuk orang-orang kafir. Dengan demikian
hukumnya tetap diharamkan, tidak boeh kawin.
Kalau kita pperhatikan ppendapat syi’ahh (Imamiyah dan
zaidiyah) maka mereka menganggap bahwa ahli kitab itu musyrik. Akan tetapi di
dalam Al-Qur’an sendiri dinyatakan bahwa antara mmusyrik dan ahli kitab itu
tidak ssama, sbagaimana firman Allâh SWT., :
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ
وَالْمُشْرِكِينَ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا أُولَئِكَ هُمْ
شَرُّ الْبَرِيَّةِ
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir Yakni ahli kitab dan orang-orang yang
musyrik (akan masuk) ke neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya. mereka itu
adalah seburuk-buruk makhluk.” (Al-Bayyinah : 6)
Dalam ayat
diatas cukup jelas bahwa ahli kitab dan musyrik itu berbeda.
§
Syarat
Seseorang Boleh Menikah dengan seorang Wanita Ahli Kitab
·
Memastikan
wanita tersebut sebagai pemeluk agama Yahudi atau Nashrani yang beriman
terhadap agama yang dianutnya itu, apapun madzhab yang dianutnya dalam agama tersebut (baik katolik, protestan ,
ortodok, maupun yang lainnya). Hal yang terpenting bahwa wanita itu bukanlah
penganut paham liberal, wanita murtad, atau tidak menganut satu pun agama
(atheis).
Hal yang telah dipahami tentang kondisi dunia barat saat
ini, tidak setiap anak wanita yang terlahir dari kedua orang tua yang menganut agama
Nashrani, serta merta menganut agama Nashrani. Demikian juga, tidaklah seorang
yang dibesarkan dalam lingkungan orang-orang beragama Nashrani lantas dinyatakan
sebagai seorang Nashrani. Mungkin saja ia justru menganut paham liberal dan
mungkin pula ia berada diatas agama lainnya yang ditolak oleh Islam.
·
Wanita
ahli kitab yang boleh dinikahi itu adalah wanita baik-baik yang senantiasa
menjaga kehormatan dirinya. Karena sesungguhnya Allâh SWT., tidaklah
menghalalkan menikahi wanita ahli kitab. Bahkan, dalam ayat yang memuat
penghalalan menikahi wanita ahli kitab
disebutkan batasan kehalalan itu, yaitu “al-ihshan” (menjaga kehormatan diri),
sebagaimana firman-Nya :
الْيَوْمَ
أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ
لَكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَهُمْ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ
الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ
الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ
“Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan
(sembelihan) orang-orang yang diberi Al kitab itu halal bagimu, dan makanan
kamu halal (pula) bagi mereka. (dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga
kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga
kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al kitab sebelum kamu....” (QS.
Al-Maaidah : 5)
Mengomentari ayat ini Imam Ibnu Katsir rahimahullaah
berkata, “makna tekstual dari “al-muhshanât” adalah wanita-wanita yang senantiasa
menjaga kehormatan dirinya dari perbuatan zina, sebagaimana yang disebutkan
dalam ayat lainnya,
مُحْصَنَاتٍ
غَيْرَ مُسَافِحَاتٍ وَلَا مُتَّخِذَاتِ أَخْدَانٍ
“....sedang merekapun wanita-wanita yang memelihara diri,
bukan pezina dan bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai
piaraannya...” (QS. An-Nisaa : 25)
Selanjutnya Ibnu Katsir berkata bahwa penafsiran inilah
yang paling tepat agar seorang Muslim tidak mendapatkan kerugian ganda;
menikahi wanita non muslimah (ahli kitab) dan tercoreng pula harga dirinya,
sebagaimana yang disebutkan dalam pepatah, “sudah rusak, timbangannya pun
kurang.” (3/42)
Jika
demikian keadaannya , sungguh merugilah laki-laki itu. Oleh karena itu, tidak
boleh sekalipun seorang Muslim menikahi seorang wanita yang bersedia
menyerahkan kehormatannya kepada siapa saja. Namun, wajib baginya untuk memilih
wanita yang terhormat; bersih; dan jauh dari berbagai syubhat yang mencoreng
harga dirinya.
Dari uraian ini dan mengingat bahwa jenis wanita-wanita
bersih di negara barat saat ini amatlah sulit didapatkan. Sebagaimana
dinyatakan oleh badan-badan survei mereka, yaitu saat ini keberadaan gadis di
negara-negara tersebut dianggap tidak memiliki nilai sosial, akan dicerca, dan
dikucilkan. Menimbang keadaan ini dan mengingat bahwa agama mensyaratkan
keberadaan wanita ahli kitab itu sebagai wanita yang bersih dan suci harga
dirinya, tidak halal pria Muslim menikah dengan wanita-wanita ahli kitab tersebut
hingga ia betul-betul yakin bahwa wanita yang akan dikawininya tersebut bersih
dan suci harga dirinya.
Syaqiq bin Salamah Rahimahullaah, berkata “Hudzaifah
menikah dengan seorang wanita yahudi. Lalu Umar menulis surat kepadanya untuk
memintanya agar mentalak wanita itu. Memaca surat itu, Hudzaifah
membalasnya,”apakah engkau menyangka menikahinya adalah haram? Karenanya saya
harus mentalaknya?”. Umar pun berkata “saya tidak meyakini bahwa menikahinya
adalah haram. Tetapi saya khawatir
kalau-kalau kalian menikahi wanita-wanita pelacur dari kalangan mereka.” ”
{Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dalam tafsirnya (4223), Abdur Razaq (3/296), dan
Ibnu Katsir dalam tafsirnya (1/583)}
·
Sebagian
ulama mensyaratkan keberadaan wanita ahli kitab itu bukan wanita yang memusuhi
, memerangi Islam, dan memiliki pola pemikiran demikian. Ibnu Abbas RA, berkata
“di antara wanita ahli kitab ada orang-orang yang halal bagi kita dan ada pula
yang haram.” Kemudian beliau membaca firman Allâh SWT.,
قَاتِلُوا
الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَا بِالْيَوْمِ الْآَخِرِ وَلَا
يُحَرِّمُونَ مَا حَرَّمَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَلَا يَدِينُونَ دِينَ الْحَقِّ
مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حَتَّى يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَنْ يَدٍ وَهُمْ
صَاغِرُونَ
“Perangilah
orang-orang yang tidak beriman kepada Allah SWT., dan tidak (pula) kepada hari
Kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allâh SWT.,
dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allâh SWT), (yaitu
orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar
jizyah (upeti) dalam keadaan rendah dan hina.” (At-Taubah : 29)
Kata Ibnu Abbas, “Barang siapa yang membayar jizyah,
boleh menikahi wanita-wanitanya. Barang siapa yang tidak membayar jizyah,
tidaklah halal menikahi wanita-wanitanya.”
Pandangan dari Ibnu Abbas ini telah disampaikan kepada
Ibrahim An-Nakha’i dan beliau menganggapnya baik. (lihat tafsir At-Thabari,
9/588). Diantara ulama kontemporer yang mendukung pendapat ini adalah Syekh Al-Qaradhawi
hafizhahullaah.
·
Tidak
ada mudharat yang ditimbulkan atau diprediksi secara kuat akan timbul dengan
menikahi ahli kitab tersebut. Hal ini disebabkan karena pemanfaatan
perkara-perkara mubah dibatasi dengan mudharat yang timbul atau diprediksi secara
kuat akan timbul akibatnya. Semakin besar kemudharatan itu , pelanggaran pun
akan semakin tegas. Rasulullâh SAW., bersabda, “Tidak boleh melakukan
kemudharatan untuk diri dan orang lain.”
§
Diantara
Dampak Negatif yang Ditimbulkan dengan Menikahi Wanita Ahli Kitab
1.
Merebaknya
pernikahan dengan wanita-wanita ahli kitab akan berdampak meningkatkan jumlah
perawan tua di kalangan perempuan-perempuan Muslimah. Keadaan demikian akan
sangat terasa bagi perempuan-perempuan yang bermukim dinegara-negara minoritas
Muslim. Jika kaum lelaki Muslim lebih memilih menikah dengan wanita-wanita ahli kitab, lantas siapa lagi
yang akan menikahi mereka, sedangkan mereka tidak dibolehkan menikah dengan
laki-laki kafir? Oleh karena itu Ummar RA, meminta Thalhah dan Hudzaifah
menceraikan istri mereka yang berasal dari kalangan ahli kitab. (Al-Mushannaf,
3/296)
Mengomentari permintaan Umar tersebut, Imam Ibnu Jarir
berkata, (4/366), “Umar tidak senang akan perbuatan Thalhah dan Hudzaifah yang
menikahi wanita ahli kitab. Karena khawatir orang-orang akan mencontoh keduanya
atau karena alasan-alasan lainnya. Karena itu, beliau meminta keduanya untuk
menceraikann istrinya itu.”
2.
Keputusan
untuk mengatur bentuk pernikahan tidak berada di tangan Muslim. Pada era
sekarang ini, barang siapa menikah di negri kafir, ia akan menikah sesuai
dengan aturan yang berlaku dinegara tersebut, yang dipenuhi dengan
aturan-aturan zalim yang tidak sesuai dengan aturan-aturan Islam. Dalam aturan
mereka, tidak dikenal adanya wilayah hak suami atas istri dan anak-anaknya.
Jadi pada suatu ketika nanti jika sang istri tidak senang terhadap suaminya,
sang istri itu dapat dengan leluasa memutuskan ikatan pernikahan dan mengambil
anak-anaknya dengan kekuatan perundang-undangan yang dimiliki negaranya dan
dengan bantuan dari pihak konsulat negaranya di negara manapun sang wanita itu
berada. Hal ini tentu akan menjadikan anak-anak mereka terlantar, khususnya
secara ruhiyah.
3.
Jika
ia berdomisili di tempat yang dikhawatirkan akan memaksa anak-anaknya memeluk
agama kufur atau ia berada pada sebuah keadaaan yang mengharuskannya
menyerahkan pendidikan sang anak kepada ibunya yang beragama selain Islam,
sebagaimana yang telah terjadi pada beberapa anak kaum Muslimin. Ibnu jarir
menjelaskan satu diantara syarat seseorang boleh menikahi wanita ahli kitab
adalah “Wanita tersebut berada pada sebuah tempat yang sang suami tidak
khawatir terhadap anaknya, bila kelak bisa saja akan dipaksa memeluk agama
kufur.”
Berdasarkan uraian tadi, lebih utama bagi seorang Muslim
saat ini untuk tidak menikah dengan wanita ahli kitab. Karena adanya kondisi
sulit untuk mewujudkan syarat-syarat yang telah disebutkan dan banyak orang
sudah terjebak pada dampak negatif sebagaimana telah diprediksikan. Sementara
disisi lain, Rasulullaah SAW., menegaskan wasiatnya untuk menikah tidak saja
kepada perempuan Muslimah, tetapi lebih memfokuskan anjuran itu kepada
perempuan-perempuan yang lebih baik iman dan taqwanya diantara mereka.
Daftar Pustaka
Hasan, M. Ali, (2000), Masail Fiqhiyah Al-Haditsah, Pada Masalah-masalah
Kontemporer Hukum Islam, Jakarta : PT. Raja Grafindo Pesrsada (Rajawali Pers)
Salim Bahammam, Dr. Fahad, Fikih Modern Praktis, 101 Panduan Hidup Muslim
Sehari-hari, Jakarta: Kalil
(2010),
Mushaf Wardah, Bandung: Jabal
|
|
|