A. Sikap Keagamaan dan Pola Tingkah Laku
Mengawali pembahasan mengenai sikap keagamaan, maka terlebih dahulu akan
dikemukakan pengertian mengenai sikap itu sendiri.dalam pengerttian umum, sikap
dipandang sebagai seperangkat reaksi-reaksi afektif terhadap objek tertentu
berdasarkan hasil penalaran, pengalaman dan penghayatan individu (Mar’at, 1982:
19 dalam Jalaluddin, 2007: 227). Dengan demikian, sikap terbentuk dari hasil
belajar dan pengalaman seseorang dan bukan sebagai pengaruh bawaan (faktor
intern) seseorang, serta tergantung pada objek tertentu. Objek sikap oleh
Edwards disebut sebagai psychological object (Mar’at, 1982: 21 dalam
Jalaluddin, 2007: 227).
Menurut Prof. Dr. Mar’at, meskipun belum lengkap Allport telah menghimpun
sebanyak 13 pengertian mengenai sikap. Dari 13 pengertian itu dapat dirangkum
menjadi 11 rumusan mengenai sikap. Rumusan umum tersebut adalah bahwa :
1. Sikap meupakan hasil belajar yang
diperoleh melalui pengalaman dan interaksi yang terus-menerus dengan lingkungan
(attitudes are learned).
2. Sikap selalu dihubungkan dengan
objek seperti manusia, peristiwa, ataupun ide (attitudes have referent).
3. Sikap diperoleh dalam
berinteraksi dengan manusia lain baik dirumah, sekolah, tempat ibadah, ataupun
tempat lainnya melalui nasihat, teladan atau percakapan (attitudes are social
learnings).
4. Sikap sebagai wujud dari
kesiapan untuk bertindak dengan cara-cara tertentu terhadap objek (attitudes
have readiness to respond).
5. Bagian yang dominan dari sikap
adalah perasaan dan afektif, seperti yang tampak dalam menentukan pilihan
apakah positif, negatif, atau ragu (attitudes are affective).
6. Sikap memiliki tingkat
intensitas terhadap objek tertentu, yakni kuuat atau lemah (attitudes are very
intensive).
7. Sikap bergantung kepada situasi
dan waktu, sehingga dalam situasi dan saat tertentu mungkin sesuai , sedangkan
disaat dan situasi yang berbeda belum tentu cocok (attitudes have a time
dimension).
8. Sikap dapat bersifat relatif
consistent dalam sejarah hidup individu (attitudes have duration factor).
9. Sikap merupakan bagian dari
konteks persepsi ataupun kognisi individu (attitudes are complex).
10. Sikap merupakan penilaian
terhadap sesuatu yang mungkin mempunyyai konsekuensi ttertentu bagi seseorang
atau yang bersangkutan (attitudes are evaluations).
11.Sikap merupakan penafsiran dan tingkah laku yang mungkin menjadi
indikator yang sempurna atau bahkan tidak memadai (attitudes are inferred).
Rumusan tersebut menunjukkan bahwa sikap merupakan predisposisi untuk
bertindak senang atau tidak senang terhadap
objek tetentu yang mencakup komponen kognisi, afeksi dan konasi. Dengan
demikian, sikap merupakan interaksi dari komponen-komponen tersebut secara kompleks
(Mar’at, 1982: 20-22 dalam Jalaluddin, 2007: 228).
Merujuk kepada rumusan diatas, terlihat bagaimana hubungan sikap dengan
pola tingkah laku seseorang. Tiga komponen psikologis yaitu, kognisi, afeksi
dan konasi yang bekerja secara kompleks merupakan bagian yang menentukan sikap
seseorang terhadap suatu objek, baik
yang berbentuk konkret maupun objek yaang abstrak. Komponen kognisi akan
menjawab tentang apa yang dipikirkan atau dipersepsikan tentang objek. Komponen
afeksi dikaitkan dengan apa yang dirasakan terhadap objek (senang atau tidak
senang). Sedangkan, komponen konasi berhubungan dengan kesediaan atau kesiapan
untuk bertindak terhadap objek (Mar’at, 1982: 21 dalam Jalaluddin, 2007: 228).
Dengan demikian, sikap yang ditampilkan seseorang merupakan hasil dari proses
berpikir, merasa, dan pemilihan motif—motif tertentu sebagai reaksi terhadap
sesuatu objek.
Bagaimana bentuk sikap keagamaan seseorang dapat dilihat seberapa jauh
keterkaitan komponen kognisi, afeksi, dan konasi seseorang dengan
masalah-masalah yang menyangkut agama. Hubungan tersebut jelasnya tidak
ditentukan oleh hubungn sesaat, melainkan sebagai hubungan proses, sebab,
pembentukkan sikap melalui hasil belajar dari interaksi dan pengalaman. Dan
pembentukkan sikap itu sendiri ternyata tidak semata-mata tergantung sepenuhnya
kepada faktor eksternal, melainkan juga dipengaruhi oleh kondisi faktor internal
seseorang.
Telaah psikologi dan
psikologi agama tampaknya sudah mulai menyadari potensi-potensi dan daya psikis
manusia yang berkaitan dengan kehidupan spiritual. Kemudian menempatkan potensi
dan daya psikis tersebut sebagai sesuatu
yang penting dalam kehidupan manusia. Selain itu, mulai tumbuh suatu kesadaran
baru mengenai hubungan antara potensi dan daya psikis tersebut dengan sikap dan
pola tingkah laku manusia.
Menurut Gordon Allport,
bahwa memang manusia memiliki sifat-sifat dasar atau tabiat yang sama.
Sifat-sifat dasar ini ditampilkan dalam sikap yang secara totalitas terlihat
sebagai ciri-ciri kepribadian individu dan kemudian terangkum dalam sikap
kelompok. Adanya perbedaan individu pada dasaranya disebabkan oleh adanya
perbedaan situasi lingkungan yang dihadapi masing-masing (Philip G. Zimbardo,
1979: 296 dalam Jalaluddin, 2007: 231).
Merujuk pada temuan ini, barangkali pemahaman sifat-sifat dasar yang
merupakan ciri khas yang ada pada manusia dapat dikaitkan dengan konsep fitrah
dalam pandangan Islam. Jika hal ini dapat diterima, maka pembentukkan sikap dan
tingkah laku keagamaan dapat dilakukan sejalan dengan fitrah tersebut bila
situasi lingkungan dibentuk sesuai dengan ketentuan ajaran agama yang
prinsipil, yaituu ketauhidan.
B. Sikap Keagamaan yang Menyimpang
Dalam pandangan psikologi agama ajaran agama memuat
norma-norma yang dijadikan pedoman oleh pemeluknya dalam bersikap dan
bertingkah laku. Norma tersebut mengacu kepada pencapaian nilai-nilai luhur yang
mengacu pada pembentukkan kepribadian dan keserasian hubungan sosial dalam
upaya memenuhi ketaatan kepada Dzat yang supernatural.
Tetapi, dalam kenyataan hidup sehari-hari tak
jarang dijumpai adanya penyimpangan yang terjadi. Sikap keagamaan yang
menyimpang terjadi bila sikap seseorang terhadap kepercayaan dan keyakinan
terhadap agama yang dianutnya mengalami perubahan.
Sikap keagamaan yang menyimpang dari tradisi
keagamaan yang cenderung keliru mungkin akan menimbulkan suatu pemikiran dan
gerakan pembaharuan , seperti halnya Martin Luther. Demikian pula, Sidharta
Gautama yang meninggalkan aagama hindu kemudian menjjadi pelopor lahirnya agama
budha. Keduanya merupakan contoh dari sekia banyak kasus sikap keagamaan yang
menyimpang , namun yang positif.
Selain itu, tak kurang pula kasus-kasus negatif
yang bersumber dari adanya sikap keagamaan yang menyimpang ini. Sikap kurang
toleran, fanatisme, fundamentalis, maupun sikap menentang merupakan sikap
keagamaan yang menyimpang.
Sikap keagamaan yang menyimpang seperti itu merupakan
masalah yang pada tingkat tertentu dapat menimbulkan tindakan yang negatif dari
tingkat yang terendah hingga ke tingkat yang paling tinggi, seperti sikap
regresif (menarik diri) hingga ke tingkat yang demonstratif (unjuk rasa). Bayangkan
saja, orang-orang yang menyimpang dari aturan agama pasti akan melakukan
hal-hal yang bertentangan dengan apa yang sudah diajarkan dalam agama atau
keyakinan yang dianutnya. Contohnya saja perbuatan korupsi yang dilakukan oleh
para aparat ataupun koruptor-koruptor dari kalangan atas, tentu mereka tidak
akan melakukannya apabila patuh terhadapa aturan agamanya.
Dibalik itu
semua, sifat rakus dan tamak dapat diantisipasi dengan bersyukur. Mewujudkan
rasa syukur terhadap nikmat Allâh SWT., “Di antara nikmat-nikmat itu ada yang
bingal bagaikan hewan-hewan hutan yang liar. Oleh sebab itu maka ikatlah nikmat
itu dengan bersyukur kepada Allâh SWT. Hindarilah sifat rakus, karena rakus itu
meruppakan kemiskinan yang nyata.” (Abdullah bin Nuh, 1986: 353 dalam
Jalaluddin, 2007: 245).
C. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Sikap Keagamaan
yang Menyimpang
Terjadinya sikap keagamaan yang menyimpang berkaitan erat dengan
perubahan sikap. Beberapa teori
psikologis mengungkapkan mengenai perubahan sikap tersebut, antara lain
: teori stimulus dan respons, teori pertimbangan sosial, teori konsistensi dan
teori fungsi (Mar’at, 1982: 26-47 dalam Jalaluddin, 2007: 245). Masing-masing
teori didasarkan atas pendekatan aliran psikologis tersebut.
Teori stimulus dan respons yang memandang manusia sebagai organisme
menyamakan perubahan sikap dengan proses belajar. Menurut teori ini ada 3
variabel yang mempengaruhi perubahan sikap, yaitu : perhatian, pengertian, dan
penerimaan (Mar’at, 1982: 27 dalam Jalaluddin, 2007: 246).
Selanjutnya, yaitu teori kedua yaitu teori pertimbangan sosial melihat
perubahan sikap dari pendekatan psikologi sosial. Menurut teori ini perubahan
sikap ditentukan oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal
yang mempengaruhi perubahan sikap ialah : persepsi sosial serta posisi sosial
dan proses belajar sosial. Sedangkan faktor eksternal terdiri atas : faktor
penguatan (reinforcement); komunikasi persuasif; dan harapan yang di inginkan.
Perubahan sikap menurut teori ini ditentukan oleh keputusan-keputusan sosial
sebagai hasil interaksi faktor internal dan eksternal (Mar’at, 1982: 35-36
dalam Jalaluddin, 2007: 247).
Teori yang ketiga, yaitu teori konsistensi. Menurut teori ini perubahan
sikap lebih ditentukan oleh faktor intern, yang tuuannya untuk menyeimbangkan
antara sikap dan perbuatan.. oleh karena itu teori konsistensi ini oleh Fritz
Heider disebut balance theory (Mar’at, 1982: 37 dalam Jalaluddin, 2007: 247),
Osgood dan Tannenbaum menamakan conguity (keharmonisan), Festinger menyebutkan cognitive
dissonance, serta Brohm menamakannya reactance (Mar’at, 1982: 37-47 dalam
Jalaluddin, 2007: 248).
Menurut teori fungsi, perubahan sikap seseorang dipengaruhi oleh
kebutuhan seseorang. Sikap memiliki suatu fungsi untuk menghadapi dunia luar
agar individu senantiasa menyesuaikan dengan lingkungan menurut kebutuhannya
(Mar’at, 1982: 49 dalam Jalaluddin, 2007: 249).
Berdasarkan fungsi instrumental manusia dapat membentuk sikap positif
maupun negatif terhadap objek yang dihadapinya. Adapun fungsi pertahanan diri
berperan untuk melindungi diri dari ancaman luar. Kemudian fungsi penerima dan
pemberi arti berperan dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan. Selanjutnya,
fungsi nilai ekspresif terlihat dalam pernyataan sikap sehingga tergambar
bagaimana sikap seseorang atau kelompok terhadap sesuatu (Mar’at, 1982: 48
dalam Jalaluddin, 2007: 249).
Teori fungsi ini mengungkapkan bahwa terjadinya perubahan sikap tidak
berlangsung secara serta merta, melainkan melalui suatu proses penyeimbangan
diri dengan lingkungan.keseimbangan tersebut merupakan penyesuaian diri dengan
kebutuhan.