Jumat, 09 Juni 2017

Sikap Keagamaan dan Pola Tingkah Laku

A.   Sikap Keagamaan dan Pola Tingkah Laku
Mengawali pembahasan mengenai sikap keagamaan, maka terlebih dahulu akan dikemukakan pengertian mengenai sikap itu sendiri.dalam pengerttian umum, sikap dipandang sebagai seperangkat reaksi-reaksi afektif terhadap objek tertentu berdasarkan hasil penalaran, pengalaman dan penghayatan individu (Mar’at, 1982: 19 dalam Jalaluddin, 2007: 227). Dengan demikian, sikap terbentuk dari hasil belajar dan pengalaman seseorang dan bukan sebagai pengaruh bawaan (faktor intern) seseorang, serta tergantung pada objek tertentu. Objek sikap oleh Edwards disebut sebagai psychological object (Mar’at, 1982: 21 dalam Jalaluddin, 2007: 227).
Menurut Prof. Dr. Mar’at, meskipun belum lengkap Allport telah menghimpun sebanyak 13 pengertian mengenai sikap. Dari 13 pengertian itu dapat dirangkum menjadi 11 rumusan mengenai sikap. Rumusan umum tersebut adalah bahwa :
1.   Sikap meupakan hasil belajar yang diperoleh melalui pengalaman dan interaksi yang terus-menerus dengan lingkungan (attitudes are learned).
2.   Sikap selalu dihubungkan dengan objek seperti manusia, peristiwa, ataupun ide (attitudes have referent).
3.   Sikap diperoleh dalam berinteraksi dengan manusia lain baik dirumah, sekolah, tempat ibadah, ataupun tempat lainnya melalui nasihat, teladan atau percakapan (attitudes are social learnings).
4.   Sikap sebagai wujud dari kesiapan untuk bertindak dengan cara-cara tertentu terhadap objek (attitudes have readiness to respond).
5.   Bagian yang dominan dari sikap adalah perasaan dan afektif, seperti yang tampak dalam menentukan pilihan apakah positif, negatif, atau ragu (attitudes are affective).
6.   Sikap memiliki tingkat intensitas terhadap objek tertentu, yakni kuuat atau lemah (attitudes are very intensive).
7.   Sikap bergantung kepada situasi dan waktu, sehingga dalam situasi dan saat tertentu mungkin sesuai , sedangkan disaat dan situasi yang berbeda belum tentu cocok (attitudes have a time dimension).
8.   Sikap dapat bersifat relatif consistent dalam sejarah hidup individu (attitudes have duration factor).
9.   Sikap merupakan bagian dari konteks persepsi ataupun kognisi individu (attitudes are complex).
10. Sikap merupakan penilaian terhadap sesuatu yang mungkin mempunyyai konsekuensi ttertentu bagi seseorang atau yang bersangkutan (attitudes are evaluations).
11.Sikap merupakan penafsiran dan tingkah laku yang mungkin menjadi indikator yang sempurna atau bahkan tidak memadai (attitudes are inferred).
Rumusan tersebut menunjukkan bahwa sikap merupakan predisposisi untuk bertindak senang atau tidak senang terhadap  objek tetentu yang mencakup komponen kognisi, afeksi dan konasi. Dengan demikian, sikap merupakan interaksi dari komponen-komponen tersebut secara kompleks (Mar’at, 1982: 20-22 dalam Jalaluddin, 2007: 228).
Merujuk kepada rumusan diatas, terlihat bagaimana hubungan sikap dengan pola tingkah laku seseorang. Tiga komponen psikologis yaitu, kognisi, afeksi dan konasi yang bekerja secara kompleks merupakan bagian yang menentukan sikap seseorang  terhadap suatu objek, baik yang berbentuk konkret maupun objek yaang abstrak. Komponen kognisi akan menjawab tentang apa yang dipikirkan atau dipersepsikan tentang objek. Komponen afeksi dikaitkan dengan apa yang dirasakan terhadap objek (senang atau tidak senang). Sedangkan, komponen konasi berhubungan dengan kesediaan atau kesiapan untuk bertindak terhadap objek (Mar’at, 1982: 21 dalam Jalaluddin, 2007: 228). Dengan demikian, sikap yang ditampilkan seseorang merupakan hasil dari proses berpikir, merasa, dan pemilihan motif—motif tertentu sebagai reaksi terhadap sesuatu objek.
Bagaimana bentuk sikap keagamaan seseorang dapat dilihat seberapa jauh keterkaitan komponen kognisi, afeksi, dan konasi seseorang dengan masalah-masalah yang menyangkut agama. Hubungan tersebut jelasnya tidak ditentukan oleh hubungn sesaat, melainkan sebagai hubungan proses, sebab, pembentukkan sikap melalui hasil belajar dari interaksi dan pengalaman. Dan pembentukkan sikap itu sendiri ternyata tidak semata-mata tergantung sepenuhnya kepada faktor eksternal, melainkan juga dipengaruhi oleh kondisi faktor internal seseorang.  
            Telaah psikologi dan psikologi agama tampaknya sudah mulai menyadari potensi-potensi dan daya psikis manusia yang berkaitan dengan kehidupan spiritual. Kemudian menempatkan potensi dan daya psikis  tersebut sebagai sesuatu yang penting dalam kehidupan manusia. Selain itu, mulai tumbuh suatu kesadaran baru mengenai hubungan antara potensi dan daya psikis tersebut dengan sikap dan pola tingkah laku manusia.
            Menurut Gordon Allport, bahwa memang manusia memiliki sifat-sifat dasar atau tabiat yang sama. Sifat-sifat dasar ini ditampilkan dalam sikap yang secara totalitas terlihat sebagai ciri-ciri kepribadian individu dan kemudian terangkum dalam sikap kelompok. Adanya perbedaan individu pada dasaranya disebabkan oleh adanya perbedaan situasi lingkungan yang dihadapi masing-masing (Philip G. Zimbardo, 1979: 296 dalam Jalaluddin, 2007: 231).
Merujuk pada temuan ini, barangkali pemahaman sifat-sifat dasar yang merupakan ciri khas yang ada pada manusia dapat dikaitkan dengan konsep fitrah dalam pandangan Islam. Jika hal ini dapat diterima, maka pembentukkan sikap dan tingkah laku keagamaan dapat dilakukan sejalan dengan fitrah tersebut bila situasi lingkungan dibentuk sesuai dengan ketentuan ajaran agama yang prinsipil, yaituu ketauhidan.

B. Sikap Keagamaan yang Menyimpang
                  Dalam pandangan psikologi agama ajaran agama memuat norma-norma yang dijadikan pedoman oleh pemeluknya dalam bersikap dan bertingkah laku. Norma tersebut mengacu kepada pencapaian nilai-nilai luhur yang mengacu pada pembentukkan kepribadian dan keserasian hubungan sosial dalam upaya memenuhi ketaatan kepada Dzat yang supernatural.
                  Tetapi, dalam kenyataan hidup sehari-hari tak jarang dijumpai adanya penyimpangan yang terjadi. Sikap keagamaan yang menyimpang terjadi bila sikap seseorang terhadap kepercayaan dan keyakinan terhadap agama yang dianutnya mengalami perubahan.
                  Sikap keagamaan yang menyimpang dari tradisi keagamaan yang cenderung keliru mungkin akan menimbulkan suatu pemikiran dan gerakan pembaharuan , seperti halnya Martin Luther. Demikian pula, Sidharta Gautama yang meninggalkan aagama hindu kemudian menjjadi pelopor lahirnya agama budha. Keduanya merupakan contoh dari sekia banyak kasus sikap keagamaan yang menyimpang , namun yang positif.
                  Selain itu, tak kurang pula kasus-kasus negatif yang bersumber dari adanya sikap keagamaan yang menyimpang ini. Sikap kurang toleran, fanatisme, fundamentalis, maupun sikap menentang merupakan sikap keagamaan yang menyimpang.
                  Sikap keagamaan yang menyimpang seperti itu merupakan masalah yang pada tingkat tertentu dapat menimbulkan tindakan yang negatif dari tingkat yang terendah hingga ke tingkat yang paling tinggi, seperti sikap regresif (menarik diri) hingga ke tingkat yang demonstratif (unjuk rasa). Bayangkan saja, orang-orang yang menyimpang dari aturan agama pasti akan melakukan hal-hal yang bertentangan dengan apa yang sudah diajarkan dalam agama atau keyakinan yang dianutnya. Contohnya saja perbuatan korupsi yang dilakukan oleh para aparat ataupun koruptor-koruptor dari kalangan atas, tentu mereka tidak akan melakukannya apabila patuh terhadapa aturan agamanya.
Dibalik itu semua, sifat rakus dan tamak dapat diantisipasi dengan bersyukur. Mewujudkan rasa syukur terhadap nikmat Allâh SWT., “Di antara nikmat-nikmat itu ada yang bingal bagaikan hewan-hewan hutan yang liar. Oleh sebab itu maka ikatlah nikmat itu dengan bersyukur kepada Allâh SWT. Hindarilah sifat rakus, karena rakus itu meruppakan kemiskinan yang nyata.” (Abdullah bin Nuh, 1986: 353 dalam Jalaluddin, 2007: 245).     

C. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Sikap Keagamaan yang Menyimpang           
Terjadinya sikap keagamaan yang menyimpang berkaitan erat dengan perubahan sikap. Beberapa teori  psikologis mengungkapkan mengenai perubahan sikap tersebut, antara lain : teori stimulus dan respons, teori pertimbangan sosial, teori konsistensi dan teori fungsi (Mar’at, 1982: 26-47 dalam Jalaluddin, 2007: 245). Masing-masing teori didasarkan atas pendekatan aliran psikologis tersebut.
Teori stimulus dan respons yang memandang manusia sebagai organisme menyamakan perubahan sikap dengan proses belajar. Menurut teori ini ada 3 variabel yang mempengaruhi perubahan sikap, yaitu : perhatian, pengertian, dan penerimaan (Mar’at, 1982: 27 dalam Jalaluddin, 2007: 246).
Selanjutnya, yaitu teori kedua yaitu teori pertimbangan sosial melihat perubahan sikap dari pendekatan psikologi sosial. Menurut teori ini perubahan sikap ditentukan oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal yang mempengaruhi perubahan sikap ialah : persepsi sosial serta posisi sosial dan proses belajar sosial. Sedangkan faktor eksternal terdiri atas : faktor penguatan (reinforcement); komunikasi persuasif; dan harapan yang di inginkan. Perubahan sikap menurut teori ini ditentukan oleh keputusan-keputusan sosial sebagai hasil interaksi faktor internal dan eksternal (Mar’at, 1982: 35-36 dalam Jalaluddin, 2007: 247).
Teori yang ketiga, yaitu teori konsistensi. Menurut teori ini perubahan sikap lebih ditentukan oleh faktor intern, yang tuuannya untuk menyeimbangkan antara sikap dan perbuatan.. oleh karena itu teori konsistensi ini oleh Fritz Heider disebut balance theory (Mar’at, 1982: 37 dalam Jalaluddin, 2007: 247), Osgood dan Tannenbaum menamakan conguity (keharmonisan), Festinger menyebutkan cognitive dissonance, serta Brohm menamakannya reactance (Mar’at, 1982: 37-47 dalam Jalaluddin, 2007: 248).
Menurut teori fungsi, perubahan sikap seseorang dipengaruhi oleh kebutuhan seseorang. Sikap memiliki suatu fungsi untuk menghadapi dunia luar agar individu senantiasa menyesuaikan dengan lingkungan menurut kebutuhannya (Mar’at, 1982: 49 dalam Jalaluddin, 2007: 249).
Berdasarkan fungsi instrumental manusia dapat membentuk sikap positif maupun negatif terhadap objek yang dihadapinya. Adapun fungsi pertahanan diri berperan untuk melindungi diri dari ancaman luar. Kemudian fungsi penerima dan pemberi arti berperan dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan. Selanjutnya, fungsi nilai ekspresif terlihat dalam pernyataan sikap sehingga tergambar bagaimana sikap seseorang atau kelompok terhadap sesuatu (Mar’at, 1982: 48 dalam Jalaluddin, 2007: 249).
Teori fungsi ini mengungkapkan bahwa terjadinya perubahan sikap tidak berlangsung secara serta merta, melainkan melalui suatu proses penyeimbangan diri dengan lingkungan.keseimbangan tersebut merupakan penyesuaian diri dengan kebutuhan.


  By Khairunisa Widiastuti Pontianak, 23 Oktober 2021 (07.37 WIB)   Dilarang Fanatik   Kepercayaanku pada kata-kata ‘alim dan ‘ula...